Makna Tapa Bisu dalam Kirab Malam 1 Sura

oleh
Prosesi kirab pusaka di Pura Mangkunegaran, Surakarta - foto: Koranjuri.com

KORANJURI.COM – Setiap Malam 1 Sura atau pergantian tahun dalam kalender Jawa, dua keraton di wilayah Surakarta, Keraton Kasunanan dan Keraton Mangkunegaran, akan menggelar kirab pusaka.

Kirab selalu diiringi dengan barisan abdi dalem keraton dan masyarakat. Di Keraton Kasunanan, kirab lebih identik dengan adanya kerbau putih atau kebo bule, Kyai Slamet, yang ikut dikirab mengelilingi Keraton Kasunanan, Surakarta.

BACA JUGA
Raja Mangkunegaran Dijadwalkan Melepas Kirab Malam 1 Sura, Ini Rutenya

Ritual kirab tersebut sangat berhubungan dengan keyakinan budaya Jawa terutama terkait perenungan, doa, penghormatan dan menjaga proses ritus dalam suasana sakral.

Maka dari itu, setiap kirab harus dibarengi dengan Tapa Bisu atau tidak berbicara sepanjang kirab pusaka berlangsung hingga selesai. Lantas apa makna Tapa Bisu dalam kirab Malam 1 Sura?

Pegiat budaya dan abdi dalem ulama Keraton Kasunanan Surakarta Raden Tumenggung (RT) Sudrajat Dwijodipuro mengatakan, ritual tapa bisu sebagai wujud rasa syukur dan permohonan keselamatan dan berkah.

“Ritual tapa bisu dilakukan oleh semua yang terlibat dalam kirab. Mereka juga bisa melakukan sendiri secara terpisah dari kirab, intinya adalah sebagai bentuk perenungan dengan membatasi bicara,” kata Sudrajat Dwijodipuro, Minggu, 7 Juli 2024.

Ia menambahkan, bulan Sura yang ditandai dengan kirab pusaka di Keraton Surakarta dan Pura Mangkunegaran, Solo, jatuh pada Minggu, 7 Juli 2024. 1 Muharram merupakan bulan pertama dalam penanggalan Hijriah.

Oleh karena itu, kata Sudrajat, bulan Sura bukan hanya bermakna perenungan dan mawas diri terhadap segala perbuatan yang telah dilakukan di tahun sebelumnya.

Tapi, juga jadi pegangan bagi masyarakat Jawa agar selalu eling dengan hakikat penciptaan dan perjalanan kehidupan. Kirab pusaka yang dilakukan dengan cara berjalan tanpa alas kaki, juga terkait dengan siklus perjalanan kehidupan yang butuh direnungkan semua tradisi kebudayaan Jawa.

“Kita senantiasa harus terus berusaha mikul duwur mendhem jero, menjunjung tinggi kebaikan serta mengubur dalam-dalam segala perbuatan yang tidak baik. Harapannya, akan memperoleh berkah keselamatan lahir batin,” kata Sudrajat Dwijodipuro.

Humas Pura Mangkunegaran Haryo Dananjoyo mengatakan, tapa bisu merupakan bentuk sikap laku prihatin. Melalui laku prihatin, Peserta kirab diharapkan dapat mencapai kebebasan batin, gangguan nafsu dan emosi, serta
memperoleh keseimbangan batin dalam memasuki tahun yang baru.

“Peserta yang hadir wajib mengamalkan dan melakukan tapa bisu atau berjalan tanpa berbicara dan tidak boleh menggunakan gawai,” kata Haryo Dananjoyo.

Peringatan Malam 1 Sura di Pura Mangkunegaran terdiri dari beberapa prosesi di antaranya, Kirab Pusaka,
pembagian udik-udik, dan semedi.

Peringatan dimaksudkan untuk menghayati pergantian tahun Jawa 1 Sura
sebagai momen wawas diri, reflektif dan mensinkronkan pribadi dengan Yang Maha Esa
guna menyongsong tahun yang baru.

Berawal dari Jaman Sultan Agung

KORANJURI.com di Google News