KORANJURI.COM – Nasib petani garam lokal di Indonesia ternyata juga pilu. Meskipun mampu memproduksi banyak, namun selalu saja kalah sama garam produksi impor. Bahkan garam produksi impor selalu menang di pasaran, baik dari segi kualitas maupun harganya.
Lalu, akankah petani lokal hanya menjadi penonton di negeri sendiri yang katanya sebagai negeri maritim. Nengeri yang tentu saja sangat kaya akan kekayaan laut, termasuk produksi garam?
“Ironisnya, komoditas garam yang selama ini menjadi kebutuhan sehari-hari, ternyata masih mengandalkan impor? Bagaimana bisa terjadi?” ujar BRM, Kusumo Putro SH, MH (47) tak habis pikir.
Sosok pria yang mengaku dari LSM Lapaan RI (Lembaga Penyelamat Asset dan Anggaran Belanja Negara Republik Indonesia) ini, mengaku benar-benar heran sekaligus prihatin. Dikatakannya, nenek moyang bangsa Indonesia dikenal sebagai seorang pelaut. Namun fakta dan sejarah leluhur tersebut, ternyata tidak menjamin bahwa bangsa Indonesia bisa mengelola kekayaan laut dengan maksimal.
Karena sampai hari ini, kebutuhan garam secara Nasional ternyata masih impor. Garam adalah salah satu jenis pangan yang sangat vital. Setiap hari, hampir semua manusia di seluruh dunia, termasuk masyarakat Indonesia memerlukan bahan garam dalam asupan makanannya.
Dan bahan utama produksinya diperoleh dari air laut. Sementara dari data berbagai sumber resmi, Indonesia memiliki garis pantai sepanjang 95.181 km. Dan merupakan garis pantai terpanjang kedua di dunia. Memiliki luas perairan laut mencapai 5,8 juta kilometer persegi, yang merupakan 71% dari keseluruhan wilayah Indonesia.
“Dengan kata lain, potensi dan sumber kekayaan laut kita (Indonesia) adalah sangat besar di dunia. Sehingga menjadi hal yang aneh dan tanda tanya besar, mengapa kebutuhan garam Nasional, kita masih mengimpor dari luar negeri,” beber Kusumo Putro lagi saat wawancara santai di kantornya pada hari Jumat kemarin (08/01/2021).
Kini memasuki tahun baru 2021, kondisi tersebut masih stagnan. Kebijakan impor garam dari pemerintah pusat, selalu menjadi biang keladinya. Dan sekali lagi, petani garam lokal harus pasrah dengan nasibnya. Bahkan di Jawa Tengah sendiri, garam impor tersebut sudah menguasai hampir 100 % pasaran garam. Dan sangat sulit untuk ditembus oleh produksi garam lokal.
Lalu apa yang sebenarnya terjadi? Mengapa Pemerintah pusat bersikukuh untuk tetap mengimpor garam.
“Di tahun 2019, impor garam yang dilakukan pemerintah sebanyak 2,3 juta ton, sudah membuat petani kesulitan menjual produksi garamnya. Anehnya, bukannya berkaca pada keresahan petani garam ditahun 2019, namun justru di tahun 2020, pemerintah kembali mengimpor garam dengan jumlah yang lebih besar, yakni 2,9 juta ton,” kata Laviq, Ketua Kelompok Usaha Garam Rakyat Tirta Petani Kab. Pati, saat dikonfirmasi pada pertengahan tahun kemarin.
Kondisi ini dijelaskan Laviq akan semakin menyulitkan para petani garam. Mengingat garam dari hasil panen petani lokal baik pada tahun 2019 dan tahun 2020 sendiri masih ratusan ribu ton.
Sesuai dengan siklus panen raya petani garam, bulan Juni dan Juli merupakan masa panen raya. Dan jika dihitung dengan stok produksi yang sudah ada, ada sekitar 75% dari total panen sebelum memasuki tahun 2021. Jika memasuki bulan Juni-Juli tahun 202, tentu petani akan semakin pusing dengan mimpi buruknya yang benar-benar terjadi. Ribuan ton garam hanya akan menumpuk di gudang para kelompok petani garam tersebut.
Menurut Kusumo, dari data yang ia peroleh, sebenarnya para petani atau kelompok petani garam sudah berkali-kali melayangkan protes ke tingkat Kabupaten. Namun jawaban yang mereka peroleh, selalu sama. Pihak pemerintah daerah (pemkab), mengaku juga tidak bisa mengambil langkah jauh. Ini karena kebijakan impor garam sudah diatur, atau yang mengatur adalah pemerintah pusat.
“Bayangkan saja, jika petani garam hanya disuruh menunggu, entah sampai kapan. Cepat atau lambat, semua petani garam lokal pasti akan gulung tikar meratapi nasibnya. Apalagi jika pemerintah benar-benar sudah tidak peduli lagi akan nasib petani,” papar Kusumo panjang lebar.
Hampir semua birokrasi atau dinas terkait di semua pemerintahan daerah, terutama Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi, juga mengatakan tak bisa berbuat banyak menghadapi masalah tersebut. Alasan paling umum, adalah karena permintaan pasar industri akan kualitas garam, hanya bisa dipenuhi oleh garam dari jenis impor. Dan hal tersebut juga menjadi kebijakan pemerintah pusat.
Lalu jika hal tersebut sudah menjadi kebijakan pusat, apakah pemerintah daerah tak bisa lagi berbuat banyak. Khususnya untuk melindungi nasib para petani lokal di wilayahnya masing-masing. Misalnya membuat aturan, atau sebuah sistem distibusi pasar yang memihak ke petani lokal.
“Sehingga aturan tersebut bisa mengakomodir, atau menyerap hasil produksi garam lokal agar juga bisa terserap ke sektor kebutuhan industri. Katakanlah mungkin bisa terserap meskipun hanya 50% saja. Atau sokur-sokur malah bisa 100%, agar petani bisa tersenyum senang dan lebih bersemangat lagi,” tegas Kusumo yang sebentar lagi akan menyelesaikan studi S3-nya di bidang ilmu Hukum ini.
Kembali kepada kebijakan pusat tadi. Kalau toh sektor industri, lebih memilih garam impor sebagai jenis yang kualifed (memenuhi syarat). Lantas kenapa tidak memilih garam petani lokal saja yang lebih ditingkatkan kualitasnya. Sehingga mampu bersaing dengan garam impor. Nah inilah mungkin masalah yang bisa diurai dengan gamblang dan transparan.
SDM (Sumber Daya Manusia) di Indonesia tentu tak bisa dianggap remeh. Kualitas kampus-kampus ternama baik negeri maupun swasta, tentu juga mempunyai ahli-ahli atau pakar canggih di bidang teknologi pertanian, termasuk mengolah garam lokal. Apalagi Garam di negeri sendiripun melimpah ruah, dan tak akan habis sampai dunia kiamat sekalipun.
Lalu kenapa bisa terjadi, garam lokal selalu kalah sama garam impor?
“Itulah tugas negara dan pemerintah yang seharusnya harus kita kritisi bersama. Khususnya tugas dan tanggung-jawab para menteri terkait, dan para pemangku kebijakan masalah produksi atau komoditas garam di Indonesia,” jelasnya.
Kesimpulan yang bisa ditarik, kesenjangan antara garam impor dan lokal terjadi karena kualitas barang yang berbeda. Sehingga permintaan industri lebih memilih garam impor. Dengan kenyataan tersebut, solusi yang harus segera dilakukan adalah, segera bergerak cepat mengolah garam lokal dengan teknologi modern.
Dalam bahasa kualitas garam, ada satu jenis kandungan yang dikenal dengan istilah Natrium Fluorida. Nah kandungan itulah yang selama ini selalu dijadikan acuan untuk menilai kualitas garam. Semakin tinggi kandungan itu, semakin baik pula kualitas garam. Dan selama ini kandungan Natrium Fluorida dalam garam lokal selalu kalah dengan garam impor.
“Lalu jika masalahnya cuma persaingan kualitas, seharusnya pemerintah sejak dulu bisa mengatasi hal tersebut dengan mudah. Dan tak ada alasan lagi untuk selalu impor garam,” ujarnya lagi.
Namun jika masalahnya, ada pada tata kelola distribusi garam impor. Atau jelasnya mungkin saja kebijakan impor tersebut, sudah dikuasai oleh oknum birokrat dan para kartel yang bermain, tentu lain lagi masalahnya. Jika kemungkinan terakhir itu yang sebenarnya terjadi, sudah seharusnya lembaga KPK, aparat penegak hukum, dan lembaga terkait lainnya, harus bersinergi dengan pemerintah untuk memberantasnya sesegera mungkin.
Karena, jika tidak segera ditangani, jeritan nasib petani garam lokal, akan semakin memilukan. Pelan namun pasti, petani garam lokal akan segera menggali kuburnya sendiri. Dan akan menutupnya kembali dengan timbunan garam yang melimpah, karena tidak laku di gudangnya sendiri. (Dia)