KORANJURI.COM – Butuh waktu panjang untuk minuman alkohol tradisional Bali bisa diproduksi secara legal. Namun hal itu bukan tidak mungkin terjadi jika ada kebijakan baru.
Kadisperindag Kota Denpasar, I Wayan Gatra mengatakan, produksi alkohol tradisional di Bali sudah dilakukan secara turun temurun sejak ratusan tahun lalu. Aktifitas itu sebagai bagian dari tradisi.
“Kebijakan baru itu terkait bagaimana arak diproduksi bukan saja untuk diminum tapi juga bagian dari tradisi. Heritage ini perlu sampaikan,” jelas Wayan Gatra dalam acara Forum Group Discussion (FGD) yang dimotori Diageo di Hotel Inna Grand Bali Beach Sanur, Senin (26/6/2018).
Di Bali, tiga wilayah mendominasi produksi arak tradisional yakni, Karangasem, Klungkung dan Singaraja dengan jumlah produsen lebih dari 500 pembuat alkohol tradisional di Bali. Hal itu, menurut Wayan Gatra, perlu dicarikan solusi yang tepat agar tradisi dan budaya yang ada tidak terhenti karena dianggap ilegal.
“Tentunya dengan pengaturan dan pemantauan secara ketat. Pemerintah daerah tidak bisa mengeluarkan karena terbentur aturan diatasnya,” ujar Gatra.
Aturan yang berlaku selama ini, produsen di satu wilayah hanya boleh memproduksi 25 liter per hari dan tidak boleh didistribusikan di luar wilayah produksi.
Sementara, Dendy dari Diageo, sebagai pemegang lisensi bir dan mikol merek terkenal di dunia berpendapat, potensi arak tradisional bisa saja mendapatkan legalitas dengan dua alasan. Pertama, jika mampu menambah potensi pendapatan negara dan menjadi heritage atau warisan budaya.
“Diskusi dan edukasi perlu dilakukan untuk memberikan pemahaman kepada produsen arak lokal maupun masukan kepada pemerintah,” jelas Dendy. (Way)