Dualisme Kepemimpinan Yayasan Dwijendra, Candra Jaya Jelaskan ke Publik

oleh
Made Sumitra Candra Jaya bersama tim kuasa hukumnya menggelar keterangan pers, Kamis, 29 November 2018 - foto: Koranjuri.com

KORANJURI.COM – Kisruh yang terjadi di tubuh Yayasan Dwijendra akibat adanya dualisme klaim kepengurusan yayasan semakin pelik.

Hingga saat ini baik dari kubu Dr. Drs. Made Sumitra Candra Jaya (Candra Jaya), M.,Hum., sebagai ketua Yayasan Dwijendra periode 2013-2018 maupun kubu Dr. I Ketut Wirawan SH., M.,Hum., (Ketut Wirawan) sama-sama mengklaim sebagai pengurus sah yayasan tersebut.

Puncak dari kekisruhan ini, yang terakhir mengakibatkan terjadinya aksi pengerahan massa yang dilakukan oleh pihak kubu Ketut Wirawan. Karena tidak diijinkan memasuki area kampus Dwijendra pada Senin 26 November 2018 kemarin dan juga yang sebelumnya terjadi pada Rabu 14 November 2018.

Mengenai kekisruhan pada 26 November kemarin, Candra Jaya dalam keterangan persnya mengatakan, pihaknya tidak mengijinkan pihak Ketut Wirawan memasuki area kampus lantaran pihaknya beranggapan bahwa pihak Ketut Wirawan akan melakukan pelantikan dan pengambilalihan yayasan.

Pihak Candra Jaya bertahan lantaran mereka menganggap kepengurusan Ketut Wirawan tidak sah menurut hukum dan proses pemilihan.

“Mereka alasan sembahyang, membonceng pengurus yang diangkat pembina 4 orang, mau dilantik disini untuk masuk ke yayasan ini. Dia mau mengambil alih yayasan ini kemarin. Makanya saya perintahakan untuk menutup gerbang,” ujarnya saat menggelar konferensi pers, Kamis 29 November 2018 di Kampus Dwijendra.

Candra Jaya mengatakan dirinya tidak berkeberatan untuk diganti, mengingat periode kepemimpinannya yang berakhir pada 20 September 2018 yang lalu. Namun, ia merasa telah diperlakukan tidak adil oleh beberapa pihak Dewan Pembina karena menggantinya tanpa mekanisme sesuai aturan yayasan.

Dirinya merasa tidak ada melakukan kesalahan yang fatal, yang merugikan yayasan, baik itu melakukan korupsi maupun mencemarkan nama baik yayasan.

Ia mengatakan, tiba-tiba empat orang dari enam orang dewan pembina melakukan rapat untuk mengganti dirinya sebagai ketua yayasan pada 12 Maret 2018 yang lalu, padahal masa jabatannya seharusnya habis pada 20 September 2018.

“Saya diberhentikan secara sewenang-wenang, alasannya tidak jelas. Paling tidak saya harus ada kesalahan yang fatal, saya merugikan yayasan, saya melakukan korupsi, saya mencoreng nama baik yayasan. Masak hanya karena saya membangun gedung 5 lantai, dan membangun sekolah di Peguyangan saya dipermasalahkan (diberhentikan paksa). Makanya saya kemudian menggugat keputusan mereka tersebut,” tuturnya.

“Bukan saya tak mau diganti tapi saya merasa didzolimi. Saya seharusnya habis 20 September 2018, namun saya mau diganti 12 Maret 2018,” imbuhnya.

Candra Jaya mengatakan, dirinya menduga ada motif lain dibalik upaya penggantian paksa dirinya. Ia menduga motif tersebut berkaitan dengan kasus korupsi yang sebelumnya terjadi.

“Dengan saya diganti akan mudah menghilangkan barang bukti. Karena pengganti saya adalah orang-orang mereka,” ujarnya.

Ia mengatakan alasannya bertahan lantaran ingin proses hukum yang sedang bergulir terkait adanya tindakan Perbuatan Melawan Hukum (PMH) dapat terselesaikan lebih dulu.

Sementara itu, tim hukum Candra Jaya, Nyoman Gede Sudiantara atau yang akrab disapa Punglik menjelaskan pihak Ketut Wirawan tidak memiliki legal standing dalam mengklaim dirinya sebagai pengurus Yayasan Dwijendra yang baru.

“Pada tanggal 26 itu (aksi massa tanggal 26 November 2018) mereka tidak mau dan tidak bisa menunjukan keabsahan itu (dokumen pengesahan dari Kemenkumham), malah justru mengalihkan topik dan memprovokasi. Jadi apa yg mereka klaim itu, sampai sekarang belum bisa menunjukan pembina dan pengurus yang sah,” ujarnya.

“Apa dasarnya Ida Bagus Erwin (ketua pembina) dan Ketut Wirawan sebagai ketua pembina dan ketua pengurus yayasan. Harus ada dokumen dari Kemenkumham,” imbuhnya.

Ia juga mengatakan bahwa saat ini masiha ada proses hukum terkait PMH dalam penggunaan dana yayasan yang harus ditunggu kejelasannya terlebih dahulu.

“Masih ada pelaporan terkait PMH terkait penggunaan dana yayasan yang diduga ada unsur korupsi, harus ditunggu kejelasannya, tunggu sampai proses hukum ini selesai,” ucapnya. (*)

KORANJURI.com di Google News