KORANJURI.COM – Bagi masyarakat petani di Desa Wisata Jatiluwih, tradisi Ngusaba Alit merupakan cara untuk menjaga hubungan dengan alam.
“Dengan tradisi ini, kami tidak hanya merawat sawah, tetapi juga masa depan,” kata Kepala Pengelola Desa Jatiluwih, Jhon Ketut Purna, Minggu, 1 Desember 2024.
Tradisi ini tidak hanya menjadi cara petani memohon keberkahan untuk hasil panen, tapi juga wujud nyata dari filosofi Tri Hita Karana yang mengajarkan keselarasan hubungan antara manusia, alam, dan Tuhan.
Pelaksanaan Ngusaba Alit melibatkan seluruh anggota subak, laki-laki maupun perempuan. Mereka mempersiapkan rangkaian acara yang dimulai dari penyucian lingkungan, persembahyangan di pura subak, hingga bergotong royong memperbaiki saluran irigasi.
Jhon mengatakan, lokasi pelaksanaan biasanya berada di pura-pura kecil yang tersebar di tengah sawah atau di tepi sungai.
“Di Jatiluwih, tradisi ini menjadi lebih istimewa karena bersamaan dengan aktifitas membersihkan area persawahan dan memastikan keberlanjutan sistem subak,” kata Jhon.
Banyak penghargaan yang mengakui eksistensi Desa Wisata Jatiluwih sebagai desa yang masih memegang tradisi masa lalu. Jhon mengatakan, Jatiluwih bukan saja menawarkan pemandangan hijau persawahan dan sistem subak.
Namun, dengan tradisi Ngusaba Alit, wisatawan melihat langsung bagaimana masyarakat menjaga tradisi dan budaya. Menurutnya, modernisasi tidak harus mengorbankan akar budaya.
Tapi cerminan bagaimana manusia seharusnya hidup dengan alam dalam harmoni dan rasa syukur
“Upacara ini menjadi panggilan kepada dunia untuk belajar tentang nilai-nilai lokal yang mengutamakan keseimbangan antara kebutuhan manusia dan pelestarian alam,” kata Jhon Purna.
Upacara itu dilakukan saat padi mulai menguning yang menandai momen penting dalam siklus pertanian Bali. Bagi masyarakat Jatiluwih, padi bukan sekadar tanaman, tetapi simbol kehidupan yang harus dijaga dan dihormati.
Kondisi alam Bali yang masih terjaga seperti di Jatiluwih bertolakbelakang dengan rekomendasi fodors.com yang menempatkan Bali sebagai destinasi tak layak dikunjungi tahun 2025.
Dalam artikel berjudul ”Fifteen destinations to reconsider in 2025′ di antaranya menuliskan, ‘Pembangunan yang pesat dan tidak terkendali yang dipicu oleh pariwisata yang berlebihan telah merambah habitat alami Bali, mengikis warisan lingkungan dan budaya, dan menciptakan “kiamat plastik.”
Pantai-pantai yang dulunya masih asli seperti Kuta dan Seminyak kini terkubur di bawah tumpukan sampah, dan sistem pengelolaan sampah lokal kesulitan untuk mengimbanginya.
“Menjaga tradisi seperti ini juga mencerminkan komitmen masyarakat, menghadirkan kearifan lokal di era moderen di tengah perkembangan zaman,” kata Jhon Purna. (Way)