Ricuh di Nusa Penida Berawal dari Warga Kesepekang Menentang Keputusan Desa Adat

oleh
Polisi turun tangan dalam ricuh yang terjadi antara warga kesepekang dengan Banjar Adat Sental Kangin, Desa Adat Ped Nusa Penida, Klungkung - foto: Ist.

KORANJURI.COM – Tindakan Kesepekang dilakukan Banjar Adat Sental Kangin, Desa Adat Ped Nusa Penida, terhadap sejumlah warga dalam Kelompok Sudi.

Mereka dinilai tidak tunduk pada aturan adat. Justru desa adat mendapatkan tekanan.

Pasalnya, warga kesepekang ini selain menolak keputusan adat hingga ke pengadilan, juga disinyalir kembali membuat keresahan setelah hari raya Nyepi yaitu saat Ngembak Geni. Mereka akhirnya diamankan polisi untuk menjaga ketertiban dan keamanan dari amukan massa.

Kelian Desa Adat Sental Kangin Nyoman Supaya mengatakan, ketegangan memuncak saat perayaan Umanis Nyepi. Saat itu, salah satu warga yang bernama Ketut Paing, bagian dari Kelompok Sudi, mendapatkan sanksi adat.

Dia diduga kuat melakukan provokasi dengan mengendarai sepeda motor secara ugal-ugalan. Banyak warga menyaksikan, yang bersangkutan menaikkan kaki di hadapan banyak warga yang kebetulan nongkrong di pos Kamling. Sontak, aksi itu mendapatkan sorakan.

Merasa tidak terima, ia kembali bersama anaknya yang merupakan anggota TNI aktif. Selanjutnya, menantang warga satu per satu hingga terjadi dorong-dorongan yang hampir berujung bentrokan.

“Kami sudah bersabar, tapi ulah mereka semakin menjadi-jadi. Warga hanya ingin hidup damai malah diprovokasi. Aparat keamanan akhirnya turun tangan untuk meredam situasi dan mengevakuasi pihak yang terlibat agar ketegangan tidak berkembang menjadi konflik fisik yang lebih besar,” ungkap Nyoman Supaya kepada wartawan, Selasa, 1 April 2025.

Nyoman Supaya mengatakan, keputusan untuk mengenakan sanksi kesepekang hingga kanurayang terhadap kelompok ini, diambil setelah berbagai upaya penyelesaian secara adat menemui jalan buntu.

“Kami sudah memberikan kesempatan bagi mereka untuk kembali ke jalan adat, tetapi mereka justru semakin menantang keputusan Banjar. Tidak ada pilihan lain bagi warga adat, selain mengenakan sanksi sesuai awig-awig yang berlaku,” jelasnya.

Kelian Adat Sental Kangin Desa Adat Ped ini menceritakan, tindakan kesepekang berawal dari perubahan ekonomi akibat menurunnya industri rumput laut.

Masyarakat di kawasan pesisir Banjar Sental Kangin membuka peluang baru di sektor pariwisata.

Untuk memanfaatkan peluang ini, tokoh masyarakat bernama Ketut Leo berinisiatif membantu membersihkan pantai. Tujuannya untuk penataan kawasan agar bisa dikembangkan oleh Banjar Adat Sental Kangin.

Namun, dalam prosesnya, terjadi perebutan lahan yang semakin memperburuk konflik. Kelompok Sudi diduga mengambil lahan strategis sepanjang 71 meter secara sepihak, dari panjang 170 meter.

Sementara 94 kepala keluarga lainnya yang terbagi menjadi 4 kelompok hanya mendapatkan sisa lahan sekitar 100 meter.

“Kami ingin membagi lahan ini secara adil agar semua warga desa adat mendapatkan manfaat. Tapi mereka justru menguasai bagian terbesar tanpa mau berbagi,” kata Nyoman Supaya.

Ketika warga menuntut pembagian lahan yang lebih adil, mereka menolak dengan alasan bahwa tanah tersebut adalah tanah negara. Sikap itu semakin memicu kemarahan masyarakat adat.

“Akibat penolakan dan tindakan melawan keputusan rapat banjar, kelompok ini dikenai sanksi kesepekang. Tapi mereka terus menentang keputusan adat hingga akhirnya dikenai sanksi kanorayang, sebagai bentuk hukuman adat yang lebih berat bagi mereka yang dianggap telah mencederai kesepakatan sosial dalam masyarakat adat,” jelasnya.

Kasus ini menjadi contoh nyata bagaimana desa adat di Bali tetap berpegang teguh pada awig-awig dalam menyelesaikan perselisihan. Kelian Banjar Sental Kangin Wayan Supaya menegaskan bahwa siapa pun yang melawan aturan adat dan mengutamakan kepentingan pribadi di atas kepentingan bersama akan menghadapi konsekuensi berat.

“Kami berharap ini menjadi pelajaran bagi semuanya. Awig-awig bukan hanya sekadar aturan, tapi juga identitas dan kehormatan desa adat kami,” jelas Kelian Banjar Adat Sental Kangin.

Keputusan untuk menjatuhkan sanksi kesepekang dan kanorayang terhadap mereka yang melanggar bukan hanya sebagai hukuman sosial, tapi juga sebagai bentuk perlindungan terhadap nilai-nilai adat yang telah diwariskan turun-temurun.

Warga berharap keputusan ini menjadi pelajaran bagi semua pihak agar selalu menjunjung tinggi aturan adat demi menjaga keharmonisan dan ketertiban sosial di desa adat. (*/Way)