Monumen Puputan Klungkung: Babad Sejarah di Tugu Lingga Yoni Setinggi 28 Meter

oleh
Monumen Puputan Klungkung berbentuk tugu lingga yoni terlihat dari obyek wisata Kerta Gosa - foto: Koranjuri.com

KORANJURI.COM – Setiap tempat di Bali adalah destinasi wisata. Pulau kecil berpenduduk 4,2 juta jiwa itu punya kekayaan tradisi, budaya dan sejarah yang panjang. Termasuk, sejarah pergerakan melawan kolonialisme Belanda.

Perlawanan rakyat Bali terhadap imperialisme Belanda salah satunya tercatat dalam kisah yang ada di Monumen Puputan Klungkung. Tugu peringatan itu bangunannya bercirikan arsitektur Bali.

Bentuknya menyerupai Lingga Yoni dengan ketinggian dari dasar sampai puncak adalah 28 meter. Di dalamnya tertata diorama yang mengisahkan sejarah Puputan Klungkung.

Pemerintah Kabupaten Klungkung mengelola bangunan itu sebagai obyek wisata bersama destinasi pariwisata terbuka Kerta Gosa yang merupakan balai pengadilan pada zaman kerajaan dulu.

Kepala Dinas Pariwisata Kabupaten Klungkung Ni Made Sulistiawati mengatakan, kunjungan ke obyek wisata Kerta Gosa didominasi wisatawan asing.

“Mereka umumnya datang bersama rombongan untuk melihat Kerta Gosa dan ke monumen Puputan Klungkung ini, mereka umumnya juga ditemani pemandu,” kata Ni Made Sulistiawati beberapa waktu lalu.

Diorama di Monumen Puputan Klungkung merunut kisah kondisi sosial dari zaman kerajaan Bali pertama hingga perjuangan merebut kemerdekaan di bawah komando I Gusti Ngurah Rai.

Kerajaan Bali pertama dijelaskan, berada pada masa kegelapan karena tirani penguasa Dalem Bedahulu yang menganggap dirinya adalah dewa.

Kepercayaan akan animisme yang masih kental membuat Raja Dalem Bedahulu semena-mena menjalankan pemerintahannya. Namun, dalam perjalanannya roda berputar dan zaman pun berubah.

Pada masa pemerintahan Raja Dalem Waturenggong pada abad XV, kehidupan seni budaya sangat berkembang pesat dan mengalami zaman keemasan. Dalam diorama yang ada menarasikan kesejahteraan mengalami kemajuan sempurna.

Para seniman sibuk membangun rumah peribadatan hingga menciptakan tari-tarian. Masyarakat juga mengalami kesejahteraan karena kemajuan bidang pertanian, termasuk, bidang spiritual dan keagamaan.

“Setiap hari obyek wisata ini dikunjungi 500-800 wisatawan, terutama wisatawan asing,” jelas Ni Made Sulistiawati. (Way)