KORANJURI.COM – Sosoknya terlihat masih semangat, meski umurnya sudah melebihi usia rata-rata harapan hidup. Sanusi, bapak 8 orang anak yang menyandang gelar Purnayudha atau veteran perang ini, kini usianya sudah 111 tahun. Ia lahir di Singaraja, Bali tahun 1907.
Mengenakan peci veteran berwarna kuning tua dengan dua atribut penghargaan dari pemerintah, Sanusi berkisah pada masa-masa ketika ia memanggul senjata mengusir penjajah dari sepotong tanah surga di bumi Nusantara.
Pertempuran Surabaya 10 November 1945 menjadi peristiwa yang sangat membekas di benaknya. Ditemui di kawasan hotel Inna Grand Bali Beach, Sanur, Sanusi bertutur, ia berangkat bersama 167 orang dari berbagai kesatuan menuju Surabaya. Meski masih mengingat betul setiap kejadian yang ia lalui, namun Sanusi tak menjelaskan sampai berapa lama ia ikut dalam pertempuran itu.
“Dari satu regu yang berangkat ke Bali, ada satu anggota gugur, namanya Made Sukena di Jembatan Merah,” jelas Sanusi dengan suara yang masih terdengar jelas.
Kisah pribadi ketika ia berkenalan dengan seorang perempuan Surabaya pun tak lepas dari ingatannya. Sanusi menceritakan, perlawanan arek-arek Suroboyo terhadap Belanda dan sekutunya terjadi tanpa mengenal waktu. Ransum untuk para pejuang Indonesia pun bahkan sampai tak terpikirkan. Yang ada, para pejuang berusaha mati-matian untuk mengusir penjajah.
“Kita semua kelaparan. Tapi para perempuan Surabaya dengan gagah berani masuk ke medan pertempuran sambil bertiarap merangkak. Mereka menyuapi pejuang yang tengah baku tembak dengan Belanda dan sekutunya. Ada satu perempuan yang saya ingat sampai sekarang, namanya Suhaebah,” jelas Sanusi.
Selesai pertempuran di Surabaya, Sanusi bergerak menuju Yogyakarta sebelum akhirnya kembali lagi ke Singaraja, Bali. Ia juga pernah ditunjuk oleh I Gusti Ngurah Rai untuk memimpin pasukan.
“Saya ditunjuk Pak Rai (I Gusti Ngurah Rai) untuk memimpin pasukan. Saya disebut sebagai Letnan dan terpaksa mau karena itu perintah, meski saya hanya pejuang yang bukan tentara,” ujarnya sambil tertawa.
Di tanah kelahirannya di bumi Panji Sakti, Buleleng, ia mengenang ketika dicari-cari pasukan Belanda. Disitu Sanusi menembak mati seorang Kapten Belanda.
Sanusi mengaku tak pernah menembak lebih dari satu peluru. Ia cukup mahir menggunakan senjata laras panjang yang pada saat itu banyak didapat dari rampasan tentara Belanda. Atas peristiwa itu, bapak dengan 2 orang istri ini, menjadi orang yang paling dicari oleh tentara Belanda.
“Saya terus bersembunyi kalau siang. Tapi kalau malam, gantian saya yang mencari mereka,” ujarnya.
Di usianya yang sudah sangat senja ini, Sanusi tetap memiliki semangat juang tinggi. Fisiknya memang sudah tidak lagi kuat. Hanya kursi roda yang membawanya kemanapun ia ingin singgah. Sanusi saat ini hidup dari bantuan pemerintah pusat yang memberikan uang Rp 2 juta setiap bulannya.
Sanusi tak memiliki pangkat tentara. Namun ia seorang pejuang yang selalu berada di garda depan pertempuran. Dua buah lencana penghargaan yang sudah lusuh dan berubah warna, tak pernah ketinggalan tergantung diatas saku kiri kemeja yang dikenakan.
“Saya dapat bantuan dari pemerintah pusat uang Rp 2 juta setiap bulan,” ujarnya demikian. (Way)