Digitalisasi Menjadi Cara Terkini Mengabadikan Serat Lontar

oleh
Lontar serat kuno yang sudah diduplikasi dengan teknologi digitalisasi - foto: Koranjuri.com

KORANJURI.COM – Di masa sekarang, penulis lontar sudah sangat jarang ditemui. Tapi di Bali masih ada orang yang menulis sastra diatas daun lontar. Ia juga menjadi pengrajin sastra lontar ketika ada orang yang ingin menduplikasi serat-serat kuno.

Dewa Made Darmawan, pria yang tinggal di jalan Pendidikan I Perum Graha Kerti, Sidakarya, Denpasar ini, awalnya merasa prihatin dengan banyaknya lontar kuno yang tidak terawat bahkan rusak. Menurut Dewa, meski kondisinya sudah rusak atau terpotong, sebenarnya lontar kuno itu masih bisa dibaca dan diurutkan alurnya. Tapi karena pemilik lontar itu tidak tahu cara merawat apalagi membaca isinya, jadilah media jaman pujangga itu dibiarkan saja dan lambat laun hancur dengan sendirinya.

“Padahal usia lontar kuno itu paling tidak diatas 500 tahun. Bahkan saya punya lontar yang hurufnya diperkirakan lebih tua dari aksara jawa atau sansekerta. Perkiraan umurnya 700 tahun. Beberapa bagian ada yang terpotong tapi masih bisa dibaca dan diurutkan maknanya,” ungkap Dewa Made Darmawan.

Untuk menyelamatkan mahakarya para pujangga lama itu, Dewa Made Darmawan berpikir untuk menduplikasi kembali dengan cara menulis ulang isinya diatas daun lontar baru. Namun prosesnya juga tidak mudah. Paling tidak, ia harus mencari bahan baku daun lontar. Sementara, ketersediaan bahan bakunya sekarang sudah mulai langka.

Disamping itu, dana yang dibutuhkan tidak sedikit. Meski akhirnya, ia mendapatkan kolega perorangan yang mau mendanai penyelamatan serat lontar kuno tersebut. Kemudian, ia memutuskan untuk membeli seratus pohon lontar yang ditanam di daerah Karangasem, Bali. Dengan begitu prosesnya produksinya tidak akan terputus karena sulitnya mendapatkan bahan baku.

Dari seratus pohon yang ada, ia memanen secara rutin setahun sekali dan mendapatkan lima pelepah yang dianggap layak untuk diproses menjadi media tulis. Tiap pelepah biasanya menghasilkan lima sampai delapan daun yang standar, tahan lama dan tidak rusak.

“Karena itulah, per lembar daun yang ditulis secara manual dengan tangan harganya terbilang mahal, Rp 100 ribu. Sedangkan penulisan lontar yang dicetak dengan mesin harga per lembarnya Rp 70 ribu, karena lebih mudah dan cepat,” jelas Dewa Made Darmawan.

Selain menduplikasi sendiri serat-serat kuno yang dianggap cukup penting, pemilik digitilisasi lontar ini juga menerima pesanan dari para kolektor atau pemilik lontar lain yang ingin menyelamatkan karya sastra tempo dulu yang saat ini juga sudah mulai langka.

Menurut Dewa, sastra lontar memiliki banyak ragam. Disebutkan, ada lontar pengobatan atau usadha, lontar kekawin atau cerita yang mengandung filosofi tinggi seperti Mahabarata dan Ramayana, juga ada lontar yang berisi ajaran rahasia. Yang terakhir, disebutkan Dewa, biasanya ukurannya kecil dan panjanganya hanya sekitar 10 cm. Sedangkan lontar yang ukurannya diatas 60 cm biasanya berupa lontar kekawin yang berisi ajaran yang sarat dengan filosofi kehidupan.

“Sastra yang ada dalam lontar sendiri merupakan mahakarya yang sifatnya universal. Sementara, untuk menulisnya sendiri ada patokan-patokan yang penuh makna atau simbol-simbol tertentu. Jadi ada lontar yang bersifat rahasia atau semacam kitab yang mudah dibawa kemana-mana karena memang ukurannya dibuat kecil,” jelas pria yang mengawali profesinya sebagai penulis lontar sejak tahun 2011 lalu.

Dalam waktu satu tahun menulis lontar, ia sudah menduplikasi 2.922 judul lontar dari berbagai macam serat atau kitab sastra dan menghabiskan sekitar 150 ribu lembar daun lontar.

Lontar Sakral

KORANJURI.com di Google News