KORANJURI.COM – Kementerian Perhubungan menghentikan operasional Trans Metro Dewata per 1 Januari 2025. Mulai awal tahun 2025 itu, masyarakat sudah tidak bisa lagi menikmati layanan angkutan massal berbasis aplikasi tersebut.
105 unit bus berwarna merah itu sejak Rabu (1/1/2025) kemarin dikandangkan di dua lokasi yakni, Terminal Ubung dan Central Parkir, Kuta. PT Satria Trans Jaya, sebagai operator Trans Metro Dewata tidak bisa berbuat banyak dengan keputusan pemerintah pusat.
Direktur PT Satria Trans Jaya I Ketut Eddy Dharmaputra mengatakan, keberadaan armada Trans Metro Dewata merupakan program stimulus dari Dirjen Perhubungan Darat Kementerian Perhubungan.
“Penghentiannya karena ada nota kesepahaman antara Dirjen Perhubungan dengan Pemprov Bali dan Pemkot Denpasar, bahwa telah berakhir,” kata Eddy di Denpasar, Kamis, 2 Januari 2025.
Dalam program stimulus itu, pemerintah pusat memberikan 105 unit bus dengan pembiayaan dari Kemenhub. Namun, selanjutnya biaya operasional diserahkan kepada pemerintah daerah.
“Kelihatannya di sini terjadi stagnan. Mungkin dalam hal ini pemerintah daerah terlambat merespons,” kata Eddy.
Pemerintah Daerah terlambat mengantisipasi berdampak cukup signifikan. Masyarakat pengguna jasa transportasi publik di Bali terlantar saat mengetahui operasional Trans Metro Dewata sudah dihentikan dan terkesan seperti dadakan.
Minimnya sosialisasi itu membuat pengguna transportasi publik ‘terjebak’ di sejumlah halte dan pool kendaraan. Mereka berpikir, Trans Metro Dewata masih beroperasi.
Proyek stimulus transportasi publik berbasis aplikasi ‘Teman Bus’ itu juga diberikan untuk Kota lain seperti Solo, Palembang dan Yogyakarta.
“Contoh di Kota Solo, juga ada 6 koridor yang dioperasikan, tiga koridor diambil oleh Pemkot Solo, tiga koridor masih dibiayai pemerintah pusat. Terkecuali di Medan, Pemda nya sudah siap mengambil alih semua, Palembang pun begitu, Pemda nya sudah siap,” kata Eddy Dharmaputra.
“Kalau armada Trans Metro Dewata ini milik operator, jadi layanannya saja yang dibiayai pemerintah,” tambahnya.
Biaya operasional untuk 105 unit armada itu mencapai Rp76 miliar per tahun. Sebagai operator, pihaknya berupaya untuk berbicara dengan Pemerintah Provinsi Bali untuk mengoperasikan kembali.
“Pemda sudah melakukan koordinasi dengan pemerintah pusat, mudah-mudahan dalam minggu ini sudah ada jawaban,” jelas Eddy Dharmaputra.
Pemerintah Dinilai Tidak Serius
Keputusan menghentikan bus angkutan publik itu memunculkan petisi yang mendesak agar pemerintah tetap melanjutkan operasional Trans Metro Dewata. Petisi yang digagas oleh Dyah Rooslina mendapatkan dukungan 11.243 tanda tangan pada Kamis, 2 Januari 2025.

Dyah mengatakan, banyak masyarakat yang tidak memiliki kendaraan pribadi dan membutuhkan transportasi publik.
Selain itu, masyarakat lansia, pedagang kecil, pelajar/mahasiswa hingga kelompok penyandang disabilitas sangat membutuhkan layanan angkutan penumpang.
“Kita nggak mikirin hari ini saja, lima, sepuluh tahun ke depan Bali akan seperti apa? Belum polusi, peningkatan emisi dari asap kendaraan,” kata Dyah.
Ia mengatakan, Bali sudah mengalami kemunduran dengan hilangnya transportasi publik. Parameternya, kata Dyah, sebuah Kota maupun negara disebut maju jika memiliki transportasi publik .
Dirinya berharap Pemerintah Daerah memikirkan solusi transportasi massal yang berkelanjutan bukan justru menghilangkan.
“Jadi tolong pikirkan lah masyarakat lainnya yang kurang mampu, kita sudah bayar pajak, dari pajak itu kan ada alokasi untuk transportasi publik,” kata Dyah.
Dyah membandingkan program stimulus untuk kota lain seperti Solo, Palembang dan Yogyakarta yang masih bisa bertahan dengan pembiayaan diambil alih oleh pemerintah daerah.
Bali memiliki sumber pendapatan baru berupa pungutan wisatawan asing. Realisasi hingga saat ini mencapai sekitar Rp300 miliar sejak berlaku pertama kali di bulan Februari 2024.
“Kalau hanya disuport satu koridor bagaimana dengan yang lain, sedangkan Bali punya pendapatan yang bisa dimanfaatkan untuk alokasi transportasi publik ini, masa kalah dengan kota lain,” ujar Dyah.
Pemerintah Provinsi Bali berencana mengambil alih satu koridor dengan pergerakan armada sekitar 20 unit bus. Biaya yang dibutuhkan untuk satu koridor mencapai Rp11 miliar per tahun.
Dyah mempertanyakan keseriusan pemerintah. Bahkan, untuk mengakomodir 6 koridor dengan biaya Rp76 miliar hingga Rp80 miliar per tahun, seharusnya Pemrov Bali memiliki kemampuan fiskal. (Way)