KORANJURI.COM – Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) menyoroti daerah wisata rentan terhadap kejahatan prostitusi seksual terhadap anak.
Ketua Kelompok Hubungan Masyarakat PPATK Natsir Kongah mengatakan, di tingkat Asean, tiga negara terbesar rentan prostitusi anak yakni, Indonesia, Filipina dan Thailand.
BACA JUGA
PPATK Temukan Aliran Dana Rp127 Milyar dari Transaksi Seksual, 24.000 Anak Jadi Korban
“Secara umum daerah-daerah wisata menjadi tempat kejahatan seksual terhadap anak. Ada datanya jumlah transaksi terkait dengan kejahatan seksual dilihat dari wilayahnya,” kata Natsir di Denpasar, Rabu, 7 Agustus 2024.
Ia mengatakan, sepanjang tahun 2024 PPATK menemukan adanya transaksi keuangan senilai Rp127 milyar terkait tindak pidana perdagangan orang dan pornografi. Menurut Natsir, pelacakan PPATK itu diungkap melalui aktifitas transaksi Perbankan.
Transaksi itu diketahui dari aliran dana yang berada dalam kisaran kecil Rp2 juta hingga Rp5 juta. Menurutnya, pola yang terjadi biasanya dana itu ditransfer ke beberapa rekening terlebih dulu. Kemudian dilanjutkan ke rekening yang lain.
“Para pelaku dari eksploitasi seksual anak ini bukan hanya berasal dari wilayah Indonesia saja, namun juga berasal dari luar negeri, mereka mencari konten-konten eksploitasi seksual anak di Indonesia,” kata Natsir.
Kemudian, dalam bertransaksi, para pelaku melakukan pembayaran dengan menggunakan Bank maupun penyedia jasa keuangan lainnya.
Yanti Kusumawardhani dari Asean Commision on the Promotion and Women and Children (ACWC) mengatakan, jasus penyalahgunaan jasa keuangan dalam kasus eksploitasi seksual anak cukup marak.
Menurutnya, ada tiga jenis mata uang sebagai alat transaksi yakni, rupiah, dollar amerika dan Euro. Besaran tarif paling rendah adalah jenis prostitusi.
Sedangkan tarif tertinggi terdapat pada penawaran live streaming untuk tujuan seksual. Kisarannya antara Rp100.000 hingga Rp5.000.000.
“Pembeli membayar pelaku dengan menggunakan aplikasi penyedia jasa keuangan berbentuk pembiayaan antar negara, dompet digital dan aplikasi perbankan,” kata Yanti.
“Temuan penyalahgunaan jasa keuangan cukup mengkhawatirkan dan perlu ada aksi bersama untuk mencegah hal tersebut terjadi secara terus menerus,” tambahnya. (Way)