KORANJURI.COM – PN Denpasar menunda pembacaan putusan terhadap para terdakwa dalam kasus Flame Spa. Seharusnya, sidang vonis digelar pada Selasa (4/3/2025). Namun mendadak ditunda karena berkas putusan belum siap.
“Karena berkas putusan belum selesai, jadi kita tunda ke hari Kamis tanggal 6 Maret 2025 untuk putusan,” ujar Ketua Majelis Hakim yang memimpin sidang, Rabu, 5 Maret 2025.
Penundaan ini sontak menimbulkan tanda tanya besar. Pasalnya, seminggu sebelumnya, majelis hakim telah mengumumkan bahwa vonis akan dibacakan tepat pada 4 Maret 2025.
Namun, begitu sidang dibuka, hakim justru langsung mengarahkan pembicaraan ke penundaan vonis hanya karena alasan teknis tersebut.
Humas PN Denpasar Gede Putra Astawa mencoba meredam sorotan publik dengan menyebut bahwa penundaan ini adalah hal yang wajar.
“Mungkin saja majelis belum siap. Artinya putusan itu kan harus dibaca, mungkin belum lengkap dibuat, jadi belum siap dibaca hari ini. Daripada belepotan dibaca, sebaiknya ditunda,” katanya saat dikonfirmasi.
Astawa juga menambahkan bahwa putusan harus disusun dengan cermat dan kemungkinan besar berkasnya belum dicetak karena banyaknya kegiatan di pengadilan.
Alasan ini justru mengundang sorotan publik. Bagaimana sebuah vonis yang seharusnya sudah dijadwalkan tiba-tiba ditunda hanya karena alasan administrasi?
Apakah ini menunjukkan kelalaian atau ada sesuatu yang lebih dari sekadar berkas belum siap?
Untuk diketahui, kasus dugaan prostitusi di Flame Spa menjadi sorotan publik setelah Jaksa Penuntut Umum (JPU) menuntut hukuman sama bagi pemilik usaha dan karyawannya.
Ni Ketut Sri Astari Sarnanitha alias Nitha, Komisaris Perseroan Mimpi Surga Bali yang menaungi Flame Spa, dituntut 9 bulan penjara, sama seperti para karyawan yang bekerja di tempat tersebut.
Berdasarkan data dari Administrasi Hukum Umum (AHU) Kementerian Hukum dan HAM, Flame Spa didirikan dengan dua pemegang saham utama yakni, Nitha sebagai Komisaris dan Ni Made Purnami Sari sebagai Direktur.
Tuntutan ini menimbulkan pertanyaan besar di masyarakat, mengingat kasus lain yang melibatkan unsur pornografi kerap berujung pada hukuman yang jauh lebih berat.
Salah satu contoh paling mencolok adalah kasus musisi Nazril Irham alias Ariel NOAH pada 2010. Ariel divonis 3,5 tahun penjara meskipun kasusnya tidak mengandung unsur komersialisasi atau eksploitasi ekonomi.
Sebagai perbandingan juga, dalam kasus prostitusi online yang melibatkan Vanessa Angel pada 2019, dua muncikari divonis 5 tahun penjara. Disparitas ini menunjukkan ketidakkonsistenan dalam penerapan hukum terhadap kejahatan yang serupa.
Publik semakin mempertanyakan keputusan ini setelah muncul laporan bahwa omzet harian Flame Spa mencapai Rp180-200 juta, atau sekitar Rp6 miliar per bulan.
Dengan pendapatan fantastis dari bisnis ilegal ini, hukuman 9 bulan penjara bagi pemilik bisnis dianggap terlalu ringan dan tidak memberikan efek jera.
Apakah vonis yang dijanjikan pada 6 Maret 2025 benar-benar akan dibacakan, atau justru akan ditunda lagi. (*/Way)