Perjalanan 2 Dekade ITB STIKOM Bali Berawal dari Ruko Sewaan, Ini Kisah Suksesnya

oleh
Pengurus Yayasan WDS Denpasar bersama Rektor ITB STIKOM Bali Dr. Dadang Hermawan (paling kanan) - foto: Istimewa

KORANJURI.COM – Sukses ITB STIKOM Bali hingga dikenal ke luar negeri, memiliki sejarah menarik nan menggelitik. Dulu, untuk menyebarkan brosur saja repotnya setengah mati. Maklum, karyawannya hanya tiga orang perempuan. Mereka rangkap sebagai staf administrasi, marketing, cleaning service hingga tukang buka-tutup kantor.

Hari ini 20 tahun lalu, tepatnya pada 10 Agustus 2002 sebuah perguruan tinggi teknologi informasi (TI) pertama kali berdiri di Denpasar dan menjadi satu-satunya perguruan tinggi TI di Bali dan Nusa Tengggara yang menyelenggarakan pendidikan TI hingga jenjang sarjana (S-1).

Namanya adalah Sekolah Tinggi Manajemen Informatika dan Teknik Komputer (STMIK) STIKOM Bali. Kejelian para pendiri Yayasan Widya Dharma Shanti (WDS) Denpasar yang menaungi STMIK STIKOM Bali yakni Prof. Dr. I Made Bandem, MA., Drs. Dharmadiaksa, M.Si, Ak., Drs. Satria Dharma dan Lilis Yuningsih, SH, MM.Kom serta Dr. Dadang Hermawan sebagai Ketua STMIK STIKOM Bali memberi nama ‘STIKOM’ di belakang STMIK itulah yang membawa hoki sampai sekarang.

Sebab orang tidak perlu repot-repot menyebut STMIK STIKOM Bali tapi cukup menyebut STIKOM saja. Karena, memang, STIKOM sendiri adalah singkatan dari Sekolah Tinggi Ilmu Komputer.

Dadang Hermawan, Ni Luh Putu Putri Srinadi, Ni Made Astiti, dan Putu Anita Diastuti adalah sosok kwartet di balik sukses STMIK STIKOM Bali. Mereka mengawalinya di dua buah ruko berlantai dua di Jl. Pulau Kawe, Denpasar Barat. Setelah izin operasional keluar pada 10 Agustus 2002, mereka segera berpromosi mencari calon mahasiswa baru.

Tantangannya luar biasa. Di tengah gencar promosi, beberapa kali STMIK STIKOM Bali diberitakan miring oleh sebuah harian lokal.

“Kok belum punya izin tapi berani buka pendaftaran mahasiswa baru. Para orang tua yang sudah mendaftarkan anaknya jadi galau. Mereka telepon menanyakan kebenaran berita tersebut. Tapi kami jawab, ada kok izinnya, kalau gak percaya silahkan datang cek. Mereka datang, kami perlihatkan izinnya barulah mereka percaya,” cerita Putri Srinadi sambil tertawa.

Apalagi saat itu, Dadang Hermawan sebagai Ketua STMIK STIKOM Bali, tinggal di Malang. Komunikasi hanya lewat telepon. Menghadapi pemberitaan miring tadi, Putri Srinadi sempat curhat ke Dadang.

“Pak kita diberitakan miring terus, apa kita gak jawab. Tapi pak Dadang bilang gak usah, hitung-hitung promosi gratis,” kenang Putri.

Hanya dalam waktu sebulan, 42 mahasiswa mendaftar, 40 yang diterima dan memulai perkuliahan perdana pada September 2002.

Putri Srinadi yang sejak awal menjadi Pembantu Ketua (PK) II Bidang Administrasi dan Keuangan STMIK STIKOM Bali, tampak bersemangat mengenang masa-masa sulit mereka jalani 20 tahun lalu. Karena karyawannya hanya bertiga, mereka bagi tugas. Kalau dua orang keluar sebarkan brosur, satu orang standby di kantor.

“Biasanya saya dan bu Astiti sebarkan brosur, pake motor saya astrea ceketer itu, bu Anita jaga kantor. Di kantor, kalau siapa yang datang duluan, dia yang buka pintu, nyapu dan rapikan ruangan. Kalau siapa yang pulang terakhir, dia yang tutup kantor sekalian bawa kunci. Jadi semuanya kami rangkap dengan senang hati,” kata Putri Srinadi masih dengan gelak tawa.

“Kalau ingat yang dulu jadi geli sendiri, apalagi sampai ke Nusa Dua, Bukit Jimbaran sana pake ceketer. Tapi gak nyangka hasilnya seperti ini sekarang. Itulah nasib. Kita hanya bekerja, yang tentukan Di Atas Sana. Asalkan kita serius, pasti bisa,” ujarnya.

Soal penghasilan mereka, karena baru merintis maka gaji tak seberapa. “Hanya 25 ribu dari pendaftaran mahasiswa,” kata Putu Srinadi, sambil terkekeh.

Ni Made Astiti juga mengakui merintis ITB STIKOM Bali dari awal tanpa beban, walaupun semua pekerjaan mereka lakukan sendiri.

“Kalau sebar brosur itu biasa, pasang spanduk promosi juga kami kerjakan sendiri dibantu Pak Komang Nama (supir, yang sekarang kerja di tempat lain). Bahkan ngecat ruangan kuliah juga kami lakukan sendiri,” kata Made Astiti yang kala itu menjadi PK IV Bidang Pemasaran hingga tahun 2009.

Kemudian dipromosikan menjadi Direktur LPBA sampai tahun 2011, lalu kembali ke STIKOM Bali sebagai Kabag Pemasaran dan kini menjadi Direktur Kerja Sama, Pemasaran dan Humas.

Ada sebuah pengalaman yang tidak bisa dilupakan Astiti ketika mereka sudah pindah di Teuku Umar. Saat itu, dia bersama Esron Oematan (kini staf Sarpras) hendak ke sebuah sekolah untuk promosi. Di Jalan Supratman, Denpasar, Esron mencoba menerobos lampu merah, padahal di depannya ada polisi.

“Saya bilang berhenti. Eh Esron malah berhenti di tengah jalan, saya turun, kabur ke pinggir dan Esron tancap gas. Setelah merasa aman, dia kembali cari saya, tapi saya sudah pergi degan bemo. Itu yang tak bisa saya lupa,” kata Astiti sambil tertawa.

Ruko di Pulau Kawe itu dipakai bersama Lembaga Pendidikan Bali Asia (LPBA) dan Datayasa Komputer yang sudah berdiri duluan. Begitu juga fasilitas laboratorium dan komputer dimanfaatkan secara bersama.

Tahun berikutnya (2003) mereka berani mengontrak ruko tiga lokal berlantai empat di Jl. Teuku Umar. Maklum tahun kedua itu jumlah mahasiswa baru membengkak menjadi 250 orang. Meski mahasiswa baru naik 6x lipat, biaya operasional juga makin besar. Karenanya ruko yang disewa selama 5 tahun, dibayar mencicil tiap tahun.

“Saya bilang ke pemiliknya, saya kontrak 5 tahun, bayarnya per tahun 200 juta, tapi pemiliknya minta tiap tahun naik 25 juta. Ya udah, saya nekad aja ambil,” terang Dadang Hermawan.

Meski pendapatan kampusnya pas-pasan, Dadang Hermawan bertekad, soal gaji karyawan tidak boleh telat.

“Kalau besok gajian tapi uang masih kurang, sore ini pasti saya jual mobil. Biasanya sore-sore saya ke Gatot Subroto cari show room mobil untuk jual. Gak pake mobil dinas lagi. Kita di pendidikan kan keuangan tidak tentu. Biasanya tahun ajaran baru, UAS, baru ada uang. Jadi setelah mahasiswa bayar, baru saya beli mobil lagi. Makanya tiap 6 bulan saya ganti mobil,” beber Dadang sambil terbahak-bahak.

Di ruko style Bali itu, STIKOM Bali makin moncer. Tahun ketiga mahasiswa baru membengkak lagi menjadi 475 orang. Tahun keempat jumlah mahasiswa baru 750 orang. Di situlah Dadang mulai berpikir gimana caranya memiliki kampus sendiri. Awalnya seorang calo menawarkan tanah di Jl. Jaya Giri. Setelah membayar uang muka Rp 200 juta, Dadang memasang spanduk bertuliskan ‘Di sini akan dibangun kampus STIKOM Bali’ barulah ketahuan kalau tanah itu milik orang lain. Akhirnya batal dan si calo tadi diproses secara hukum.

Dadang kemudian mengincar lokasi yang lebih elit di Jl. Raya Puputan, Renon. Masalahnya, tanah seluas 40 are itu bernilai Rp 16 miliar. Sedangkan STIKOM Bali hanya punya uang Rp 1 miliar. Nah bermodalkan Rp 1 miliar sebagai tanda jadi, Dadang nekad menandatangani perjanjian jual – beli tanah tersebut.

“Jika dalam waktu enam bulan tidak dilunasi, maka uang muka tadi hilang. Setelah pontang panting dua bulan cari duit, bulan ketiga akhirnya berjodoh dengan BPD Bali. BPD yang lunasi, sertifikat sebagai jaminan,” ucapnya.

Selanjutnya Dadang bergerak cepat membangun kampus STIKOM Bali. Tapi duitnya dari mana? Apalagi anggaran biaya sesuai maket gedung memerlukan dana Rp 25 miliar. Lagi-lagi Dadang mendapat solusi jitu. Bank BNI 46 siap membiayai proyek gedung STIKOM Bali dengan jaminan sertifikat tanah (take over dari BPD) dan bangunan gedung STIKOM Bali.

Ir. Wayan Swastika, MT, seorang dosen Fakultas Teknik Unud menawarkan diri membangun.

“Setelah bangun 30 persen baru turun dana dari bank untuk bayar, begitu seterusnya sampai selesai. Dari dulu semuanya nekad saja. Toh bisa. Jadi, masalah dana sebenarnya bukan halangan untuk mengembangkan pendidikan,” kata Dadang.

“Saya sudah buktikan,” lanjutnya, dengan wajah serius.

Asal tahu saja, Ir. I Nyoman Swastika yang membangun gedung STIKOM Bali tadi, akhirnya ‘dirangkul’ masuk dalam Yayasan WDS Denpasar sebagai pengawas.

Ketua Yayasan WDS Denpasar Drs. Ida Bagus Dharmadiaksa, M.Si, Ak menambahkan, untuk meyakinkan Nyoman Swastika agar mau membangun kampus tersebut, dia beberapa kali menemuinya sambil memperlihatkan data perkembangan mahasiswa baru yang terus melonjak dari tahun ke tahun.

“Tapi kami tidak bayar seluruhnya, sebagian kami tawarkan dalam bentuk saham. Pak Nyoman setuju. Wah bagus nih. OK saya setuju, saya mau bangun,” kisah Dharmadiaksa.

Pada saat bersamaan Manajemen STIKOK Bali juga mendirikan SMK TI Bali Global si Jl. Tukad Citarum, Denpaaar sebagai ‘bahan baku’ alias calon mahasiswa STMIK STIKOM Bali. Kini di Bali berdiri 7 SMK TI Bali Global tersebar di Denpasar, Jimbaran, Dalung, Karangasem, Klungkung, Singaraja dan Abiansemal serta sebuah SMK Indonesia Global di Ponorogo, Jawa Timur.

Salah satu kelebihan ITB STIKOM Bali adalah karena dikelola secara profesional oleh tim manajemen. Sedangkan peran yayasan sebagai pengawas dan urusan pembinaan dari belakang

Tahun 2009 STMIK STIKOM Bali mulai menempati kampus megah berlantai empat di Jl. Raya Puputan No. 86 Niti Mandala, Renon, Denpasar. Jumlah mahasiswanya membengkak lagi menjadi 1.200 orang. Hutang di BNI lunas tahun 2012.

Sejak berada di kawasan elit Niti Mandala, Renon, tiap tahun jumlah mahasiswa baru tak kurang dari 1.200 – 1.500 orang. Per Juli 2022, total mahasiswa tercatat 6.000 orang. Hingga Wisuda ke-29 jumlah alumninya mencapai 9000 orang, tersebar di seluruh Indonesia hingga luar negeri.

Pada 07 Mei 2019, STMIK STIKOM Bali resmi berubah bentuk menjadi Institut Teknologi dan Binsis (ITB) STIKOM Bali. Lalu pada 09 Juli 2019, Pengurus Yayasan WDS Prof. Dr. I Made Bandem, MA melantik Dr. Dadang Hermawan menjadi rektor. Tiga srikandi dibalik kisah sukses ITB STIKOM Bali kini punya jabatan mentereng. Dr. Ni Luh Putri Srinadi, SE., MM.Kom sebagai Wakil Rektor II Bidang Administrasi, Keuangan dan Sumber Daya; Dra. Ni Made Astiti, MM.Kom sebagai Direktur Kerja Sama, Pemasaran dan Humas; dan Putu Anita Diasuti menjadi salah satu Direktur salah satu unit bisnis STIKOM Bali Group.

Saat ini ITB STIKOM Bali dengan 6000 mahasiawa tersebar di tiga kampus. yakni ITB STIKOM Bali Renon, Jimbaran dan Abiansemal. Saat ini ITB STIKOM Bali memiliki dua fakultas yakni Fakultas Ilmu Komputer dengan tiga Program Studi (prodi): Prodi Sistem Komputer,Prodi Sistem Informasi, dan Prodi Teknologi Informasi. Ketiganya program S-1. Kemudian Fakultas satu lagi adalah Fakultas Bisnis dan Vokasi dengan dua Prodi, yakni Prodi Bisnis Digital (S-1) dan Prodi Manajemen Informatika (D-3).

Hebatnya lagi ITB STIKOM Bali punya Program Dua Gelar Internasional untuk gelar Sarjana Komputer (S.Kom) dari ITB STIKOM Bali dan gelar Bachelor of information Technology (BIT) dari HELP University Kuala Lumpur. Juga ada Program Dua Gelar Nasional untuk gelar S.Kom dari ITB STIKOM Bali dan Sarjana Manajemen (SM) dari Binus University Jakarta atau Sarjana Desain (S.Ds) dari STT Bandung. (*

KORANJURI.com di Google News