KORANJURI.COM – Petambak garam di Desa Les, Tejakula, Buleleng dan Desa Tianyar, Kubu, Karangasem, melakukan dialog bersama Gubernur Bali Wayan Koster. Mereka berkeluhkesah tentang produksi hingga pemasaran garam lokal Bali. Harga pasar garam lokal Bali dipandang kalah ekonomis dibandingkan dengan garam tradisional asal daerah lain.
Hal itu disampaikan oleh petambak garam asal Desa Les, Buleleng, Ni Putu Somayanti. Ia mengungkapkan garam traidisional lokal Bali asal Desa Les yang diproduksinya sempat dicoba dipasarkan ke Kota Denpasar. Namun kalah bersaing dengan garam dari Jawa. Mengingat, harga garam Jawa dijual lebih murah.
“Harga garam dari daerah lain Rp 3.000, sedangkan kami menjualnya perkilo Rp 10 ribu. Sehingga yang beli garam kami saat ini hanya warga lokal dan dijual di pasar tradisional di wilayah Desa Les saja,” kata Somayanti, Senin (6/12/2021).
Ia berharap pemerintah memberikan bantuan pemberdayaan cara memproduksi garam dengan baik dan benar sehingga dapat bersaing dengan garam luar.
“Saya mohon Bapak Gubernur Bali bisa membantu Kami dan memberikan program pemberdayaan hingga membantu prasarana produksinya seperti palung,” ujarnya.
Sedangkan, petambak garam di Desa Tianyar Ni Made Sri Mariati yang juga Ketua Kelompok Mina Karya Satu menceritakan bahwa pekerja tambak garam di Desa Tianyar kebanyakan adalah kaum ibu rumah tangga. Mereka bekerja dalam 6 kelompok dan setiap kelompok ada 10 orang. Ia mengaku, dalam proses produksi, para petambak garam tradisional menggunakan teknik menjemur air laut yang sudah terkumpul.
“Dulu kami menggunakan palung berbahan kayu kelapa, tapi karena rusak dan kami tidak ada uang untuk membelinya. Sebagai gantinya, kami gunakan bahan plastik geomembran untuk proses produksi,” kata Sri Mariati.
Dalam kondisi cuaca mendukung ia mampu memproduksi hingga 250 kilogram dan dalam kondisi cuaca mendung produksinya sekitar 100 kg.
Masukan para petambak garam tradisional Bali itu disikapi oleh Gubernur Bali Wayan Koster. Menurut Koster, wilayah pesisir pantai Desa Tianyar dan Desa Les tetap dipertahankan menjadi sentra produksi garam.
“Karena sekarang sudah ada Surat Edaran (SE) Gubernur Bali Nomor 17 Tahun 2021 tentang Pemanfaatan Produk Garam Tradisional Lokal Bali. Karena ijin Indikasi Geografisnya belum keluar, Saya akan perintahkan Badan Riset dan Inovasi Daerah Provinsi Bali untuk segera memproses ijin tersebut, agar cepat terbit,” kata Gubernur.
Koster memastikan, persoalan sarana produksi yang dikeluhkan oleh para petambak garam akan difasilitasi oleh pemerintah. Mengingat, palung yang digunakan untuk menjemur garam berpengaruh terhadap cita rasa garam tradisional Bali itu.
Terkait dengan program pelatihan dan pemberdayaan, Koster mengatakan, Pemprov Bali akan memberikan pendampingan kepada petambak garam dalam hal pengemasan produk agar memilik daya tarik untuk konsumen. (Way)