KORANJURI.COM – Kementerian Kelautan dan Perikanan melalui Dirjen Perikanan Budidaya menggalakkan produk Akuakultur untuk mencapai kebutuhan dan keamanan pangan. Pola Akuakultur juga berpotensi tinggi meningkatkan daya saing di pasar domestik maupun ekspor.
Dirjen Perikanan Budidaya Kementerian Kelautan dan Perikanan Slamet Soebjakto menjelaskan, produksi Akuakultur harus dapat dipertanggungjawabkan dari aspek mutu dan keamanannya. Slamet menambahkan, KKP memiliki komitmen tinggi terkait keamanan pangan. Komitmen itu ditunjukan dengan keluarnya Permen KP No 39 tahun 2015 tentang Pengendalian Residu Obat Ikan, Kimia dan Kontaminan.
“Ini bentuk tanggungjawab kita. Aspek keamanan pangan harus dikedepankan untuk menjamin kesehatan masyarakat sebagaimana amanat dalam UU nomor 18 tahun 2012 tentang Ketahanan Pangan,” jelas Slamet.
Ditambahkan, data hasil monitoring residu dari tahun 2010-2018 menunjukkan data hasil uji non compiant (NC) terus menurun. Bahkan, data hingga Triwulan IV tahun 2018, ditambahkan, belum ada sampel yang terdeteksi mengandung residu atau non compiant.
Disamping itu, pencapaian dari pembangunan sistem monitoring residu nasional tersebut berhasil meningkatkan kepuasan pembeli terhadap kualitas produk perikanan Indonesia. Menurut Slamet, belum pernah ada laporan atau surat Rapid Allert System For Food and Feed (RASFF) dari negara pembeli, khususnya terkait cemaran atau residu produk perikanan budidaya yang di ekspor.
“Ini adalah suatu prestasi yang dapat kita banggakan bersama, karena berkat kerja keras kita bersama selama ini, produk perikanan budidaya yang diekspor memiliki daya saing dan nilai jual yang sangat kompetitif,” ujar Slamet.
Sebelumnya, Tim Auditor dari DG Sante, Uni Eropa telah melakukan audit sistem mutu dan keamanan pangan di 2 Provinsi yakni Jawa Timur dan Sulawesi Selatan. Dari draft laporan hasil investigasi yang diterima KKP, kata Slamet, menunjukkan temuan tersebut sebagian besar tidak bersifat mayor.
“Artinya lebih terhadap kesesuaian persyaratan antara regulasi nasional dengan regulasi yang berlaku di Uni Eropa,” jelasnya.
Tim auditor UE juga memberikan apresiasi terhadap upaya Indonesia dalam meyakinkan konsumen masyarakat Eropa terhadap keamanan pangan produk perikanan.
UE mengeluarkan 3 rekomendasi yang diberikan tim auditor UE dalam draft laporan audit. Rekomendasi itu secara garis besar, dijelaskan Slamet terkait dengan Ruang lingkup NRMP yang harus sudah mencakup kegiatan pembenihan, substansi uji erythromycin serta lokasi ekspor ke UE yang harus disampling. Meskipun dari segi produksi masih relatif rendah.
Rekomendasi kedua yakni, Penerapan ISO 17025 di laboratorium harus dioptimalkan termasuk kegiatan validasi dan tindak lanjut hasil profisiensi test, dan ketiga terkait tindak lanjut dan investigasi yang dilakukan terhaap unit budidaya yang terdeteksi residu harus diperluas ke kolam atau tambak dan lingkungan sekitarnya.
“Rekomendasi UE inimenjadi PR bersama untuk melaksanakan rekomendasi tersebut. Hal ini baik sebagai bahan acuan kebijakan sistem pengendalian residu nasional,” terang Slamet.
Dalam rangka menyukseskan program monitoring residu pihaknya berharap prosedur monitoring residu bisa dijalankan oleh semua pihak, mulai dari pengambilan sampel sesuai alokasi sampel, pengiriman sampel, pengujian dan input data di setiap tahapan.
Menindaklanjuti rekomendasi UE, KKP mendorong pemetaan rencana aksi mulai dari level Pusat, Provinsi maupun laboratorium. Perencanaan, implementasi yang didukung dengan ketersediaan regulasi dan Standar Operasional Prosedur (SOP) yang sudah diharmonisasikan dengan regulasi internasional, harus mulai jadi fokus perhatian.

Transformasi Otomatisasi
Sebagai gebrakan lebih lanjut, KKP mendorong para pembudidaya perikanan untuk mengikuti perkembangan teknologi yang ada. Dalam memperkenalkan teknologi tersebut, KKP mengadakan pameran Akuakultur yang berbasis Revolusi Industri/Revolusi Teknologi 4.0.
Pameran Aquatic Asia & Indoaqua 2018 itu berlangsung pada 28-30 November 2018 dengan mengusung tema ‘Transform Aquaculture Business Into Industry 4.0’.
Menurut Slamet, Industri 4.0 bakal mendorong pembudi daya perikanan dapat menerapkan praktik akuakultur berkelanjutan agar kualitas produksi berdaya saing.
“Yang jelas mereka harus menerapkan ‘aquaculture practice’ agar bahan baku yang diproduksi bagus dan berdaya saing,” ujar Slamet.
Selain itu tambah Ditjen, industri 4.0 akan menjadi ajang baru sekaligus tantangan bagi pembudi daya dan pelaku usaha subsektor akuakultur. Tantangannya adalah bagaimana menciptakan sistem akuakultur yang efisien berbasis teknologi digital.
Dengan adanya industri 4.0, permintaan pasar akan produk perikanan budidaya akan tinggi. Menurut laporan Bank Dunia ‘Fish to 2030 – Prospect for Fisheries and Aquaculture’, konsumsi ikan dunia pada 2030 diprediksi mencapai 151.771.000 ton. Terdiri atas ikan tangkapan sebesar 58.159.000 ton dan ikan budidaya sebesar 93.612.000 ton.
Sedangkan, produksi ikan dunia pada 2030 sebanyak 186.842.000 ton yang disumbang dari perikanan tangkap 93.229.000 ton dan perikanan budidaya 93.612.000 ton.
“Pameran Akuakultur itu diharapkan menjadi titik transformasi sistem akuakultur dari era konvensional ke era otomatisasi,” ujarnya demikian.
Data Direktorat Perikanan Budidaya menunjukkan, produksi perikanan budidaya hingga triwulan III 2018 pada September 2018 tercatat 13.168.430 ton. (Bob)