KORANJURI.COM – Direktorat Siber Polda Bali menggerebek dua TKP yang dijadikan tempat registrasi kartu perdana ilegal. Bisnis itu dikelola anak muda berinisial DBS (21) yang tinggal di Jalan Tukad Banyusari, Gang Pelita I/15, Denpasar.
Dua TKP yang digerebek berada di Jalan Sakura, Gang 1 No.18C Denpasar dan di Jalan Gatot Subroto I, Perumahan Taman Tegeh Sari No.17 Denpasar.
Kabid Humas Kombes Pol Jansen Avitus Panjaitan mengatakan, dalam pengungkapan itu, polisi menangkap 12 orang tersangka di dua TKP.
“Tindak pidana yang dilakukan oleh para tersangka adalah melakukan registrasi kartu SIM perdana secara ilegal dan jual beli kode OTP,” kata Jansen di Polda Bali, Rabu, 16 Oktober 2024.
Jansen mengatakan, para pelaku menggunakan data pribadi milik orang lain untuk melakukan registrasi kartu SIM perdana
Bisnis yang dikelola sekelompok anak muda itu sudah berlangsung sejak tahun 2022. Jansen mengatakan, awalnya pelaku melakukan registrasi secara manual dengan handphone. Kemudian berlanjut dengan jaringan modem.
“Namun sejalan dengan kebutuhan yang meningkat mereka menggunakan modem, dan yang kita amankan ada 168 modem,” kata Jansen .
“Dari hasil penggeledahan terhadap pelaku disita uang tunai sebesar Rp250.000.000,” tambahnya.
Direktur Siber Polda Bali AKBP Ranefli Dian Candra menambahkan, dalam menjalankan bisnis ilegal itu, pelaku menggunakan sarana pemasaran melalui website. Pelaku DBS sendiri yang membuat website tersebut.
Dikatakan Ranefli, pengungkapan itu dilakukan pada Rabu (9/10/2024) sekitar pukul 23.30 WITA. Lokasi pertama yang digerebek berada di Jalan Sakura, Gang 1 No.18C, Denpasar.
Di TKP 1 ditemukan modem dan laptop yang diduga digunakan untuk mendaftarkan kartu perdana menggunakan identitas orang lain.
“Dari TKP pertama DBS pemilik usaha mengaku ada lokasi lain untuk pemasaran yang berada di Perumahan Taman Tegeh Sari No. 17, Denpasar,” kata Ranefli.
Dalam kasus itu, pelaku dijerat pasal berlapis yakni, Undang-undang perlindungan data pribadi atau UU Nomor 27 Tahun 2022 pasal 65-67, dengan hukuman paling lama 5 tahun dan denda maksimal Rp5 milyar.
“Juga dijerat pasal 32 ayat (1), Pasal 48 ayat (1), tentang pelanggaran terhadap informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik milik orang lain atau milik publik,” kata Ranefli.
“Hukuman pidananya yakni penjara paling lama delapan tahun dan denda maksimal Rp2.000.000.000,” tambahnya. (Way)