KORANJURI.COM – Warga Serangan I Wayan Patut mengkhawatirkan sejumlah risiko jika pangkalan LNG Apung jadi dibangun di kawasan yang hanya berjarak 500 meter dari Pulau Serangan.
Menurutnya, jarak ideal untuk membangun pangkalan energi gas itu berada di laut lepas sejauh 5 km dari Pulau Serangan. Ia menambahkan, pemerintah sebelumnya berencana melokasikan floating Liquefied Natural Gas (FLNG) ini sejauh 4 km.
“Risiko yang bisa saja terjadi adalah kebakaran dan dampaknya bukan saja di Pulau Serangan saja, tapi pulau reklamasi di sekitar kawasan,” jelas Wayan Patut saat menghadiri diskusi Serikat Media Siber Indonesia (SMSI) Kota Denpasar, Senin, 16 Juni 2025.
Selain itu, industri untuk mewujudkan Bali mandiri energi itu juga mengancam vegetasi yang hidup di areal sekitar. Selama ini, Pulau Serangan identik sebagai pulau penyu. Ada sejumlah penyu yang hidup dan berkembang biak di kawasan pulau yang ada di Denpasar itu.
“Di mana penyu itu lahir di situ pula penyu itu akan kembali untuk berkembang biak,” kata Wayan Patut.
Selain itu, kehidupan bawah laut seperti terumbu karang juga terancam rusak saat melakukan griding atau pengerukan di perairan dangkal. Terumbu karang itu menurut Patut, selama ini memberikan manfaat ekonomi untuk warga pesisir di pulau tersebut.
Estimasinya, areal seluas 1 meter persegi mampu menghasilkan profit ekonomi sebesar Rp1 juta. Selain itu, di situ juga menjadi kawasan konservasi hutan mangrove sekaligus kawasan suci yang seharusnya tetap terjaga.
“Kalau ada pengerukan akan ada perubahan gelombang laut, bisa kita bayangkan dampak perubahan lingkungan yang terjadi,” ujarnya.
Ia menambahkan, persoalan lain yang muncul yakni lalu lalang kapal tanker yang mengangkut LNG. Wayan Patut mengatakan, kapal tanker itu diperkirakan sepanjang 310 meter dengan lebar.
Dikatakan, alur laut di Pulau Serangan saat surut tidak sampai 500 meter, sehingga tidak memungkinkan kapal mencari haluan. Sedangkan, luas areal untuk mendapatkan haluan yang cukup membutuhkan areal 750 meter.
“Kami tidak anti Pembangunan tapi dampak yang kami khawatirkan sangat besar, termasuk bagaimana kami harus menghidupi kegiatan adat yang ada di desa,” jelas Wayan Patut.
Dalam talkshow pariwisata bertajuk ‘Menakar Dampak Pangkalan LNG terhadap Pariwisata Kota Denpasar’ itu hadir sejumlah narasumber antara lain, Guru Besar Pariwisata Universitas Udayana, Prof. Dr. Drs. I Nyoman Sunarta, MSi.
Sunarta memandang, banyak hal yang harus dipikirkan secara luas tentang Bali. LNG hanya masalah kecil untuk menunjukkan kualitas Pembangunan di Pulau Dewata. Tapi ia menegaskan satu hal bahwa Bali harus menjadi laboratorium hidup.
Yang dibutuhkan Bali adalah membangun destinasi pariwisata yang berkualitas. “Caranya adalah dengan membangun Bali sesuai carrying and capacity. Kalau kita tidak ingin tergantung energi, lantas berapa banyak untuk cukup?” kata Prof. Sunarta.
Menurut ahli pariwisata berbasis lingkungan ini, Kota Denpasar sudah saatnya membangun hutan kota dan danau kota. (Way)