KORANJURI.COM – Jawa Pos TV Bali bersama Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) menggelar Pelatihan Peningkatan Kapasitas Jurnalis Peliputan Bencana Alam, Sabtu, 4 Oktober 2025.
Direktur Jawa Pos TV Bali Ibnu Yunianto mengatakan, peliputan terhadap peristiwa bencana menjadi tantangan tersendiri untuk wartawan.
Mengingat, jurnalis bukan hanya menginformasikan terkait peristiwa bencana saja. Tapi bisa lebih luas lagi terutama pemberitaan terhadap korban hingga data-data yang harus digali dari narasumber yang tepat.
“Sekaligus, untuk regulator atau masyarakat yang ingin memberi bantuan atau solusi atas bencana tersebut,” kata Ibnu.
Pelatihan sehari itu menghadirkan sejumlah narasumber seperti, Kadis Lingkungan Hidup Provinsi Bali Made Rentin, Kadek Setiya Wati dari BMKG Wilayah III Denpasar.
Putu Eka Tulistiawan dari stasiun Meteorologi Ngurah Rai Bali, I Made Dwi Wiratmaja dari stasiun Klimatologi Bali dan Ni Luh Desi Purnami dari stasiun Geofisika Denpasar.
Kepala Dinas Kehutanan dan Lingkungan Hidup Provinsi Bali I Made Rentin tidak membantah, tutupan hutan di Daerah Aliran Sungai (DAS) Sungai Ayung hanya 3%.
Namun menurutnya, dalam konteks kehutanan, ada tutupan hutan di dalam kawasan hutan dan tutupan hutan di luar kawasan hutan. Dengan peruntukan bukan untuk hutan tapi teyap memilki vegetasi pepohonan.
“Ketika yang spesifik memang disebut tutupan hutan, ya bukan 3% malah 3,11%. Jadi sempadan sungai di sepanjang DAS Ayung sesungguhnya tidak separah apa yang diberitakan oleh media yang mengutip statemen Menteri Lingkungan Hidup,” kata Made Rentin di Denpasar, Sabtu, 4 Oktober 2025.
Kadek Setiya Wati dari BMKG memaparkan, tugas BMKG melakukan pemantauaan cuaca dan iklim. Menurut Setia, cuaca mengacu pada kondisi harian seperti curah hujan. Sedangkan, merupakan rata-rata cuaca dalam jangka waktu yang panjang.
“Cuaca itu berubah, seperti perempuan, sesuai mood-nya. Kalau iklim, seperti lelaki, polanya stabil,” ujar Setiya.
Sedangkan, cuaca ekstrem (cuek) merupakan fenomena alam yang terjadi dengan kondisi tidak lazim dan berpotensi menimbulkan ancaman.
“Angin kencang 45 km per jam sudah masuk cuaca ekstrem. Kalau puting beliung itu ada pusaran dari dasar awan cumulonimbus, jelas Setiya.
Bencana Tidak Terjadi oleh Penyebab Tunggal
Kepala Pelaksana Badan Penanggulangan Bencana Daerah (Kalaksa BPBD) Bali I Gede Agung Teja Bhusana Yadnya menyebut, tidak ada bencana yang terjadi oleh penyebab tunggal.
Banjir bandang yang menerjang Bali pada 10 September 2025 lalu dipicu oleh kerentanan yang bertemu ancaman. Agung Teja mengatakan, intensitas hujan 150 mm per bulan masuk dalam kategori ekstrem.
“Tapi yang terjadi saat musibah pada 9-10 September 2025 lalu intensitasnya mencapai 390 mm per hari. Itu sama saja dengan hujan 4 bulan tumpah dalam sehari,” kata Agung.
Dengan curah hujan yang over extreme itu, masih terjadi gelombang pasangn setinggi 2 meter.
“Sehingga, air hujan yang semestinya masuk ke laut terhambat oleh gelombang pasang,” ujarnya.
Dari stasiun Meteorologi Ngurah Rai Bali, Putu Eka Tulistiawan menjelaskan observasi metereologi ideal di bandara.
“Sebagai bandara internasional Bandara Ngurah Rai dilengkapi peralatan yang memadai untuk pengamatan darat dan udara. Termasuk, alat mengetahui arah dan kecepatan angin,” kata Eka.
I Made Dwi Wiratmaja dari stasiun Klimatologi Bali menjelaskan, di Bali ada 118 titik pengamatan hujan. Titik pengamatan itu mengirimkan data hujan tiap 10 hari.
“Termasuk, terkait cuaca, iklim, curah hujan, sifat hujan, dasarian, El Nino, dan La Nina. Kemudian, nilai rata-rata hujan sepanjang 30 tahun,” jelasnya.
Terkait dengan gempa bumi, Ni Luh Desi Purnami dari stasiun Geofisika Denpasar, hingga saat ini tidak ada prediksi akan terjadi gempa.
Menurutnya, gempa bumi tidak menunggu waktu dan akan terjadi begitu saja ketika energi terlepas.
Dia memberikan analogi, arus konveksi terjadi seperti memanaskan air yang dapat memicu perbedaan suhu dan kepadatan. Desi mengatakan, saat inti bumi panas, maka mantel bumi juga akan panas.
Kita yang berdiri di kerak bumi akan merasakan gerakan sekitar 7 milimeter per tahun. Tapi, gerak setipis itu bisa jadi gempa bumi dahsyat,” jelas Desi. (Way)