Tentang Subak dalam Garapan Video Dokumenter Tim BPCB Bali

oleh
Ketua STISPOL Wira Bhakti Denpasar, Prof. Dr. Wayan Windia, saat diwawancarai Tim BPCB Bali, Selasa (29/12/2020) - foto: Istimewa

KORANJURI.COM – Tim Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Bali berkunjung ke kampus Sekolah Tinggi Ilmu Sosial dan Politik (STISPOL) Wira Bhakti Denpasar, Selasa, 29 Desember 2020. Kedatangan tim BPCB dalam rangka pembuatan video tentang warisan budaya dunia di Bali.

Ketua STISPOL Wira Bhakti Denpasar, Prof. Dr. Wayan Windia menjelaskan, subak merupakan sistem irigasi yang berbasis petani dan lembaga yang mandiri.

Keberadaan subak yang sudah hampir satu milenium ini, sampai sekarang masih lestari dan tangguh dalam mengatur sistem pengairan sawah. Namun, Wayan Windia mengakui saat ini eksistensinya mulai terancam.

“Ancaman terhadap kelestarian subak ini dampak dari adanya perubahan dalam berbagai kehidupan masyarakat Bali di tengah arus globalisasi,” jelas Prof Windia.

Selain itu, ancaman organisasi subak juga muncul dari desa adat sendiri. Wayan Windia menjelaskan, Bali sudah dibagi habis oleh wilayah desa adat, sehingga subak otomatis menjadi bagian dari desa adat.

Meskipun demikian, kata Prof. Windia, saat ini perlu dilakukan upaya untuk memperkuat dan melestarikan eksistensi subak. Warisan budaya itu sangat unik dan dikagumi oleh banyak pemerhati irigasi di mancanegara.

“Kalau subak yang dipandang sebagai salah satu pilar penopang kebudayaan Bali sampai sirna, maka dikhawatirkan stabilitas sosial akan terganggu dan kelestarian kebudayaan Bali bisa terancam,” ujarnya.

Dari data yang ada, kata Windia, 750 hektar pertanian subak di Bali sudah beralih fungsi setiap tahun. Sedangkan total areal pertanian Subak mencapai 80 ribu hektar. Lahan pertanian tersebut menjadi hunian dan kawasan bisnis di tengah arus pariwisata Bali yang terus menggeliat.

“Kita sangat prihatin dengan kondisi ini. Padahal, sistem subak mengimplementasikan prinsip ‘Tri Hita Karana’ (THK) sebagai penopang kelestarian alam di Bali,” kata Windia.

Ditambahkan, prinsip THK mencakup hubungan yang harmonis antara manusia dengan Tuhan, manusia dengan alam, dan antar sesama manusia. Secara detail, konsep ‘parahyangan’ ditunjukkan dengan adanya satu atau lebih Pura Bedugul di kawasan subak.

Bahkan, ada pula ‘sanggah catu’ (bangunan suci) yang ditempatkan di sekitar bangunan ‘sadap’ (intake) di setiap blok atau kompleks persawahan.

Prof. Windia menegaskan, kegiatan di dalam subak tidak selalu mengenai pertanian. Namun juga mencakup interaksi sosial antar-warga dan ritual keagamaan untuk kesuksesan dalam bertani. Pada masa pemerintahan Belanda, sistem pertanian di Bali, khususnya bidang irigasi, sangat diperhatikan dan menjadi program Belanda.

Program itu disebut dengan Wellvart Werken (program persemakmuran). Untuk menjamin keberlangsungan persediaan air untuk pertanian, maka pemerintah Belanda membuat empangan air primer secara permanen yang disebut dam (bendung).

Keberadaan subak juga mampu meningkatkan produktifitas hasil pertanian. Maka, pelestarian terhadap subaka atau sistem pengairan secara tradisional perlu dilestarikan.

“Sistem pembagian pengairan secara teratur dari masa lalu sampai sekarang ini, sudah terbukti mampu meningkatkan produktivitas pertanian masyarakat Bali,” kata Prof Windia. (*)

KORANJURI.com di Google News