Ribuan Pelaku Usaha di Sriwedari Pertanyakan Nasibnya

oleh
Pedagang di areal Taman Sriwedari, Solo menunggu nasib pasca MA memenangkan ahli waris dalam sengketa dengan Pemprov Surakarta - foto: Koranjuri.com

KORANJURI.COM Ribuan pelaku usaha dan seni yang ada di kawasan taman Sriwedari, semakin bingung dengan kejelasan nasibnya. Berpuluh-puluh tahun, nasib mereka bagaikan digantung. Misi revitalisasi Sriwedari, yang digadang-gadang bisa mengayomi nasib mereka, hingga kini justru tak jelas arah perkembangannya. Kepada walikota yang baru, mereka mengharap akan titik terang akan masa depan mereka.

Foksri (Forum Komunitas Sriwedari), yang mewadahi ribuan pelaku usaha itu, berencana menggelar audiensi, atau pertemuan dengan walikota Solo yang baru, Gibran Rakabuming Raka. Rencana itu bakal diwujudkan secepatnya dalam minggu ini. Audensi dengan walikota, diharapkan bisa memberi ketenangan, serta kepastian hukum bagi ribuan anggota Foksri.

“Ibarat gajah di pelupuk mata tak tampak, namun semut atau kumat di sebarang lautan kelihatan. Itulah mungkin gambaran yang pas untuk melihat keberadaan Sriwedari sekarang,” tutur BRM, Kusumo Putro SH, MH (47), selaku penasehat dari Foksri saat ditemui di Sriwedari kemarin sore (05/04/2021).

Ditambahkannya, banyak sekali lompatan program dan kebijakan dari walikota Solo yang baru, benar-benar patut diajungi jempol. Seperti menjadikan lokasi taman Balekambang, menjadi pusat seni dan kebudayaan Surakarta. Atau rencana menyulap kawasan pasar Ngarsopuro dan sekitarnya, menjadi semacam Malioboronya wong Solo. Juga program terkait peningkatan ekonomi kreatif atau UMKM yang lain, terutama di masa pandemi sekarang.

Namun ironisnya, tak ada satupun program yang menyentuh nasib para pelaku usaha di lahan Sriwedari. Padahal ada sekitar 2500 hingga 3000 pelaku usaha dan seni yang hidup, atau menggantungkan hidup di sana. Bahkan misi revitalisasi lahan Sriwedari, dari pemangku kebijakan atau walikota-walikota sebelumnya juga belum terealisasi hingga kini.

“Jika saja, misi revitalisasi lahan Sriwedari bisa terwujud, tentu nasib para pelaku usaha di sana (Sriwedari), juga semakin tenang karena mendapat kepastian hukum dalam menjalankan semua aktifitasnya,” bebernya.

Banyak ikon legendaris yang sudah kadung disematkan, atau dikenal oleh publik dan masyarakat luas di lahan Sriwedari tersebut. Bahkan juga ikon-ikon yang benar-benar mengandung muatan sejarah dan juga masuk dalam kategori perlindungan cagar budaya. Seperti Museum Radya Pusataka, atau gedung Wayang Orang yang umurnya sudah ratusan tahun berdiri.

Jika suatu hari nanti, Sriwedari yang merupakan kebanggaan warga Solo hilang, tentu akan membuat kota Solo kehilangan ruhnya. Ruh dimana ikon tersebut banyak menyimpan sejarah masa lalu. Atau sejak jaman Kraton Surakarta didirikan di desa Sala atau Baluwarti. Di masa modern sekarang, Sriwedari merupakan gudangnya para seniman. Termasuk pelukis, pengrajin, pemahat, pemain wayang, penari, dll.

Kondisi yang sekarang benar-benar terjadi, adalah kenyataan bahwa ada ribuan pelaku usaha yang sudah puluhan tahun menggantungkan hidupnya dari lahan Sriwedari tersebut. Namun sampai saat ini, mereka tidak mendapat kepastian bagaimana nasib atau status keberadaan mereka. Juga bagaimana sebenarnya, atau siapa pengelola dari lahan Sriwedari tersebut. Mereka hanya bisa berkeluh-kesah di wadah forum Foksri.

“Sementara keberadaan paguyuban Foksri itu sendiri, jumlah anggotanya sangat besar atau banyak. Yang unik, dalam satu wilayah atau forum itu masih terdapat banyak paguyuban lain yang bernaung di dalamnya,” terang Kusumo lagi.

Memang di lahan Sriwedari, banyak komunitas atau paguyuban yang mewadahi masing-masing anggotanya, berdasar bidang atau jenis usaha dan jasanya masing-masing. Misalnya ada paguyuban Busri, komunitas para pedagang buku bekas dan baru yang sangat melegenda sejak dulu hingga sekarang. Juga ada paguyuban Pasari, Rukun Santosa, PKL Dalam dan Luar Sriwedari, Jasa komputer, Tukang Parkir, Bursa Mobil Bekas, dll.

“Dengan potensi tersebut, kami dari Foksri memohon kepada walikota Solo yang baru, agar segera menjadikan semua potensi yang ada di lahan Sriwedari, menjadi salah satu bagian, dari Grand Desind pembangunan kota Solo,” imbuhnya.

Malah sebisa mungkin, harus menjadi satu prioritas penting, dalam rangka pembangunan menyeluruh di kota Solo. Juga dalam rangka usaha dan program peningkatan ekonomi kreatif dan UMKM di kota Solo. Intinya, keberadaan Sriwedari dengan segala ikon dan potensinya jangan sampai hilang ditelan jaman. Jangan sampai masyarakat dan dunia lupa dengan sejarah dan keberadaan Sriwedari.

Sehingga salah satu caranya adalah dengan keterlibatan Pemkot Solo dalam pengelolaan lahan Sriwedari. Dengan cara tersebut, diharapkan semua pelaku usaha dan jasa, budayawan, dan seniman yang ada di lahan Sriwedari bisa tetap melakukan aktivitasnya dengan tenang.

Sementara itu ketua Foksri, Safik Hanafi (50), mengatakan nasib dan kesejahteraan semua anggota akan terus diperjuangkan. Mengingat kondisi sekarang belum tersentuh sama sekali oleh derap pembangunan kota Solo. Sehingga iapun bertanya ada apa? Janji revitalisasi oleh para pemimpin kota Solo sebelumnya sangat diharapkan realisasinya di era sekarang.

“Sebagai tempat hiburan keluarga raja (bon raja) yang berada di jantung kota, serta cikal bakal tumbuhnya ekonomi kreatif dan hiburan, tentu Sriwedari sangat membutuhkan sinergi antara pelaku usaha dan pelaku seni budaya,” jelasnya.

Sehingga pemerintah diharap segera mendahulukan, terkait perhatiannya terhadap segala kondisi di lahan Sriwedari. Apalagi pelaku usaha di Sriwedari sudah menunggu selama beberapa periode. Baik saat waktu kepemimpinan Bapak Jokowi menjadi walikota, ataupun sewaktu dipimpin oleh Bapak Rudy. Selama 20 tahun lebih mereka menunggu apa yang terbaik, yang hendak dilakukan oleh pemkot Solo.

“Intinya kita manut atau nderek pemerintah, alias tunduk, apa yang akan diperbuat oleh pemerintah. Namun kalau bisa ya jangan dipinggirkan, atau dipikir paling belakangan dibanding yang lain,” imbuh Safik saat jumpa pers di Sriwedari.

Ia juga mengatakan, jika selama ini banyak pihak mengklaim sebagai pemilik (ahli waris) lahan Sriwedari, dan menawarkan berbagai opsi kepada semua warga atau pelaku usaha di Sriwedari, tentu tidak akan diladeni jika tidak membawa identitas atau surat resmi yang sah secara hukum. Hal-hal seperti itu, tentu sedikit banyak juga mempengaruhi kenyamanan beraktifitas para pelaku usaha di Sriwedari.

Harapan kepada Mas Walikota Solo Gibran, agar segera menengok atau berkunjung ke Sriwedari. Sehingga bisa segera memikirkan segala hal terkait isi, potensi, dan aktivitas yang ada di dalam lahan Sriwedari. Karena selama ini, Sriwedari ibarat mati suri. Dikatakan mati tidak, namun dikatakan hidup juga seperti enggan.

Ketua Paguyuban Rukun Santosa yang menginduk Foksri, yaitu Joko Sukamto, menambahkan bahwa sebagian anggotanya adalah yang paling terdampak oleh proyek revitalisasi. Bahkan sebagian sudah keluar atau dipindahkan ke sisi lain dari lahan Sriwedari. Dan tentu saja kondisinya tidak senyaman dan seprospek di lokasi lama. Sementara masih ada puluhan anggota lain yang masih bertahan di tempat lama.

“Sehingga kami ingin sekedar mengingatkan kepada pemimpin kota Solo yang baru, agar bisa peduli atau mengakomodir dengan nasib para anggota kami. Apalagi hal ini juga terkait dengan misi Walikota baru tentang percepatan ekonomi. Harapan kami agar bisa beraudiensi dengan Walikota, supaya percepatan ekonomi itu juga bisa berdampak positif kepada nasib anggota kami di Sriwedari,” jelas Joko di sesi tanya jawab dengan beberapa awak media.

Sementara Purwati, mewakili dari paguyuban PKL Sriwedari, berharap agar pak Walikota yang baru bisa memperhatikan nasib mereka yang sekarang beranggotakan sekitar 25 orang itu. Purwati bahkan mengatakan, bahwa banyak anggotanya yang menggantungkan hidup di lahan Sriwedari sampai tiga generasi. Dari kondisi Sriwedari mulai ramai, sangat ramai, hingga kembali sepi seperti sekarang.

Dari paguyuban Buku Sriwedari, juga ngudarasa hal senada. Agus Mulyanto (55), ketua Busri yang mengaku sudah 40 tahun mengais rejeki dari denyut nadi lahan Sriwedari. mengharap agar pemerintah bisa mempertahankan, atau menempatkan para pedagang buku tetap di lahan Sriwedari. Bahkan bila perlu ada tambahan space khusus untuk bacaan-bacaan sesuai klasifikasi. Misalnya bacaan kuno ataupun modern.

“Harapan kami, agar walikota Pak Gibran bisa mempertahankan keberadaan komunitas dan semua pelaku usaha buku agar tetap eksis di Sriwedari. Bagaimanapun juga keberadaan kami sudah menjadi ikon penting dalam sejarah kebanggaan kota Solo yang panjang,” ujar Agus. (Med)

KORANJURI.com di Google News