RAPBD Kota Solo Gagal Disahkan, Pengamat Sebut Adanya Patologi Demokrasi

oleh
Dr. Imam Al Ghozali Hide W saat memaparkan desertasinya di gedung Fakultas Hukum Kampus UNS Surakarta, Selasa 27 Agustus 2024 - foto: Koranjuri.com

KORANJURI.COM – Kegagalan DPRD Kota Surakarta yang sampai awal bulan desember 2024 belum mengesahkan RAPBD (Rancangan Anggaran dan Pendapatan Belanja Daerah) menjadi APBD membuat rakyat geram.

Pasalnya, anggota dewan yang seharusnya berfungsi sebagai representasi perwakilan rakyat di daerah gagal dalam menjalankan tugasnya.

Padahal salah satu tugas dewan perwakilan rakyat di daerah selain fungsi legislasi membuat peraturan daerah dan fungsi kontrol, juga menetapkan anggaran belanja daerah. Jika RAPBD gagal di sahkan menjadi APBD, maka rakyat Kota Solo yang sangat dirugikan.

Pengesahan RAPBD menjadi APBD tidak hanya untuk melanjutkan pembangunan kota Solo setahun kedepan, namun juga untuk memenuhi kebutuhan rakyat di berbagai sektor pembangunan.

Oleh karena itu jika gagal atau deadlock pengesahannya melebihi batas akhir penetapan yang sudah diatur dalam undang undang, maka sanksi berat akan menunggu.

Gagalnya pengesahan juga akan membuat dewan tidak bisa bekerja secara maksimal. Padahal puluhan juta gaji yang mereka terima setiap bulan di setor dari uang hasil pajak rakyat. Oleh karena itu jangan heran jika rakyat keras bersuara.

Sementara itu, menyorot perseturuan dua kelompok partai yang terus berlanjut pasca Pilkada Solo hingga ke ruang dewan, menyebabkan deadlock pengesahan RAPBD.

Ahli filsafat hukum penulis desertasi ‘Dekonstruksi Hukum Partai Politik Dalam Pandangan Filsafat Hukum’, Dr. Imam Al Ghazali Hide Wulakada menyampaikan pandangannya.

Point pertama yang menjadikan deadlock pengesahan RAPBD menjadi APBD kata Imam Ghazali, karena koalisi Indonesia maju (KIM) Plus dan PDIP saling berebut ketua komisi.

Perlu menjadi cacatan dalam ilmu filsafat hukum, fraksi itu merupakan barang bawaan agen (Partai Politik), sedangkan komisi itu bejana yang harus di isi kepentingan rakyat.

Yang terjadi para agen-agen ini ‘berkelahi’ untuk mencari posisi berpengaruh di parlemen, hingga dia mengabaikan hak rakyat yang harus dibahas di ruang komisi.

Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 16 tahun 2010, komisi dijelaskan sebagai alat kelengkapan dewan, sedangkan fraksi bukan bagian dari alat kelengkapan dewan.

Karena fraksi bukan dari anak kandung demokrasi parlemen. Anak kandung demokrasi parlemen itu komisi, urusan rakyat. Sedangkan fraksi urusan agen, urusan partai politik.

Ketika fraksi itu kemudian dibawa masuk justru menjadi pemain utama dalam demokrasi parleman, maka parlemen akan menjadi berkepentingan ganda memainkan peran.

Menurutnya, fraksi ini lahir dari egosisme demokrasi, rahimnya partai politik. Oleh karena egosisme inilah maka kemudian menjadi sebab disebut patologi demokrasi, dia menebar kuman bagi demokrasi.

Pasal 48 PP Nomor 16 Tahun 2010 itu mengatur bentuk komposisi. Kalau Solo dengan komposisi 20 kursi (PDIP) dan 25 kursi (KIM Plus) itu bisa sampai tiga komisi. Lantas isi anggota dalam komisi tersebut secara proporsional.

Lalu anggota komisi bermusyawarah untuk memilih ketua komisi dan sekretaris komisi, itu perintah norma seperti itu. Persoalanya adalah, suara di dalam rapat anggota komisi tersebut di pengaruhi oleh koalisi.

“Jadi sebenarnya konsep koalisi di parlemen itu konsep cari aman,” ujarnya.

“Maka PDIP dengan jumlah 20 suara itu harus di taklukan. Karena kalau tidak di taklukan, partai partai dengan suara rendah tersebut tidak nyaman bagi kepentingan mereka di dalam organisasi parlemen,” urai ahli hukum yang merampungkan studi S3 di UNS Surakarta.

Padahal kekuatan demokrasi itu dinilai dari seberapa besar suara tersebut di raih. Jadi dengan adanya dinamika ini kita bisa melihat, bahwa ada tiga kluster partai politik.

Pertama, partai pemenang suara terbanyak dalam lembaga eksekutif maka ia akan memimpin eksekutif. Kedua partai oposisi, sedangkan yang ketiga saya sebut dengan partai oportunis.

Partai oportunis itu kalah menang tidak ada urusan, yang penting ikut yang menang.

“Ini yang jadi masalah itu kan partai oportunis yang nggak jelas ini kan. Bisa di bayangkan di kim ini kan. Partai oposisi di parleman agar bisa tetap memiliki posisi, maka dia harus berkoalisi,” jelasnya.

Kalau dilihat wajah komposisi di parlemen Kota Solo saat ini, 20 suara banding 25 suara. Suara 20 dari PDIP merupakan suara original yang di raih hasil Pilkada 2024, sedangan 25 suara di KIM Plus merupakan gabungan dari koalisi partai politik.

Itu kalau dirinci maka hakikatnya mereka tidak sekuat PDIP, srtinya kerja demokrasi mereka tidak bisa mengalahkan PDIP.

Tidak bisa kerja demokrasi tetapi di parlemen minta jadi ketua. Coba di periksa, PDIP lebih kuat karena memiliki 20 suara dewan kota, artinya dia berprestasi di dalam demokrasi pemilu.

Dia harus merepresentasi rakyatnya di ruang parlemen. Dibandingkan dengan partai yang tidak bisa kerja maksimal, tetapi pengin jadi ketua, itu sesuatu hal yang ganjil.

Ini bukan soal nurani, tetapi soal rasionalitas dan proporsionalitas. Jadi siapa yang rasionalitas menjadi ketua ?, yha tentu partai politik yang prestasi dalam demokrasi pemilu.

Jadi menurut saya, justru PDIP yang memiliki original suara 20 persen, sementara di kim itu suara yang tidak original, dia besar karena koalisi untuk mencari aman.

Jika di lihat dari prinsip materialitas demokrasi, maka seharusnya partai dengan kursi terbesar menduduki ketua komisi. Karena partai yang lain itu tidak original, mereka besar berdasarkan gabungan.

Politisi, pengamat politik kita, para pakar hukum tata negara kita tidak sadar, bahwa mereka membunuh hak rakyat seperti di atur pada Pasal 49 Tentang rancangan peraturan daerah dan rancangan komisi DPRD.

Itu harus di bahas oleh komisi, jika komisi tidak di bentuk lantas bagaimana.

Maka sekarang kita akan lebih tehnis lagi, bagaimana apabila sampai bulan desember 2024 tidak ada pembahasan, tidak ada komisi untuk membahas itu.

Jika tidak ada komisi sebagai alat kelengkapan dewan untuk melakukan fungsi tersebut. Di karenakan RAPBD ini yang mengajukan eksekutif, sedangkan saat ini tidak ada mekanisme alat kelengkapan dewan untuk mengesahkan, menggunakan haknya untuk menyatakan persetujuan pengajuan RAPBD, maka perda tentang APBD gagal.

Cara mengatasinya jika sampai komisi tidak terbentuk dan tidak ada alat untuk membahas RAPBD hingga gagal di sahkan, maka dapat di ganti dengan mekanisme Peraturan Walikota atau lebih tepatnya Peraturan Walikota APBD 2025.

‘Dengan demikian ada alternatif mekanisme, sehingga hak hak rakyat kedepan tetap dapat terpenuhi,” kata Dr. Imam Al Ghozali Hide Wulakada. (*)

KORANJURI.com di Google News