KORANJURI.COM – Pemprov Bali resmi melarang pementasan Joged Bumbung Jaruh yang menunjukkan pornoaksi. Larangan itu berlaku untuk pementasan langsung maupun tayangan di media sosial.
Larangan itu diterbitkan melalui Surat Edaran Gubernur Bali Nomor 18 Tahun 2024 tentang Tari Tradisi Joged Bumbung Jaruh. Aturan itu didasarkan keputusan Ilikita Majelis Kebudayaan Bali (MKB), Nomor 01/X/MKB/2024 tertanggal 21 Oktober 2024.
Ilikita yang merupakan surat atau catatan tertulis mengenai peraturan itu, ditandatangi oleh Saba Pemutus Majelis Kebudayaan Bali Tingkat Provinsi Bali Prof. Dr. I Made Bandem, M.A.
Bandem menekankan joged bumbung jaruh tidak memenuhi standar kepatutan budaya dan harus dihentikan.
“Aksi-aksi yang dianggap porno dan provokatif ini merusak kesakralan joged bumbung asli dan mengakibatkan keresahan masyarakat,” kata budayawan, dan maestro tari I Made Bandem, Jumat, 15 November 2024.
Larangan ini mulai berlaku sejak diterbitkan Surat Edaran Gubernur Bali pada 22 Oktober 2024, yang berlaku di seluruh Bali. Pementasan dan tayangan joged bumbung jaruh dilarang tampil baik di panggung, acara publik, maupun media sosial.
Untuk mengimplementasikan larangan ini, Majelis Kebudayaan Bali bersama dengan Pemerintah Provinsi Bali akan melakukan penertiban secara terkoordinasi.
Hal ini meliputi pelarangan pementasan joged jaruh di seluruh wilayah Bali serta menghapus semua tayangan joged jaruh dari media sosial. Langkah ini dilakukan agar budaya Bali terlindungi dan tetap menjadi ikon yang bernilai luhur.
Joged Bumbung adalah tari pergaulan yang populer di Bali dan dikenal sebagai seni hiburan yang memiliki nilai sosial dan estetika tinggi. Tarian ini digemari masyarakat Bali maupun wisatawan yg berkunjung ke Bali.
Tarian ini biasanya ditampilkan dengan busana sederhana seperti kain songket atau perada, kebaya, gelungan (hiasan kepala), dan selendang, serta menggunakan kipas sebagai properti.
Sebagai sebuah seni tradisi, Joged Bumbung memiliki pakem berupa koreografi dan gerak tari yang memancarkan romantika keindahan. Namun, dalam perkembangannya muncul inovasi gerak tarian yang memberikan kesan tidak senonoh dan mengeksploitasi tubuh dengan aksi sensual atau pornoaksi.
Made Bandem menjelaskan, hal itu bertentangan dengan kaidah tarian Bali yang berunsurkan logika, etika, dan estetika agama Hindu.
“Kesucian itu sering kita sebut sebagai siwam atau kesucian logika, satyam sebagai kebenaran etika dan sundaram atau keindahan estetika, sehingga menodai harkat dan martabat kesenian Bali,” kata Prof Bandem. (Way)