Wamen Kebudayaan Giring Ganesha Tersentuh dengan Dedikasi Petani

oleh
Wakil Menteri Kebudayaan Giring Ganesha menghadiri kick off Subak Spirit Festival di Desa Wisata Jatiluwih, Tabanan, Sabtu, 9 November 2024 - foto: Koranjuri.com

KORANJURI.COM – Wakil Menteri Kebudayaan Giring Ganesha Djumaryo menghadiri kick off Subak Spirit Festival di Desa Wisata Jatiluwih, Tabanan, Sabtu, 9 November 2024. Giring Ganesha hadir untuk mengikuti deklarasi Subak.

Wamen Kebudayaan juga menyempatkan menyapa para pelaku UMKM dan sejumlah pelajar yang dilibatkan dalam festival Subak yang pertama digelar oleh Kementerian Kebudayaan itu.

Di puncak acara Giring Ganesha bersama pemangku kepentingan, pelaku budaya dan komunitas masyarakat, mengucapkan deklarasi penguatan ekosistem kebudayaan Bali. Subak menandai landskap Budaya Provinsi Bali sebagai manifestasi Tri Hita Karana.

“Semangat festival ini bukan hanya pencapaian struktural, tapi juga perwujudan dari tekad kita semua untuk menempatkan budaya sebagai pusat identitas dan daya tarik Indonesia di mata dunia,” kata Giring.

Ia mengatakan mendapat mandat dari Presiden Prabowo untuk menempatkan budaya sebagai poros utama dalam pembangunan bangsa. Subak Spirit Festival juga jawaban dari tantangan zaman dengan pendekatan holistik.

Menurutnya, festival Subak bukan hanya perayaan tapi juga gerakan yang menjadi sebuah panggilan bagi generasi muda untuk kembali kepada nilai kearifan lokal.

Giring mengaku, kunjungannya ke subak Jatiluwih merupakan momen kedua setelah yang pertama di Desa Ubung Kaja. Ia juga mengaku tersentuh melihat hamparan sawah hijau dan subur. Dalam kelompok Subak, para petani bekerja bersama penuh kebanggaan dan dedikasi.

“Saya menyaksikan langsung bagaimana nilai-nilai luhur ini terjaga dan diteruskan, bukan hanya sebagai teknik pertanian tetapi sebagai nafas kebudayaan,” ujarnya.

Subak Spirit Festival menjadi sebuah ajang pameran kebudayaan yang mengangkat nilai kearifan lokal di Bali. Event itu melibatkan sejumlah seniman, budayawan, penyanyi hingga masyarakat lokal sebagai pelaku kebudayaan itu sendiri.

Kebiasaan yang dilakukan masyarakat petani ditampilkan seperti kepuaan yang merupakan alat terbuat dari bambu untuk mengusir burung. Alat tersebut menghasilkan bunyi-bunyian yang digerakkan dengan cara digoyang dengan tangan.

Ada pula, lelakut atau boneka untuk mengusir burung yang diletakkan di pematang sawah. Kreatifitas tradisi itu menjadi bagian dari konsep festival yakni Tri Hita Karana, atau hubungan manusia dengan alam, hubungan manusia dengan Tuhan dan hubungan manusia dengan manusia.

Ketua Subak Tempek Kedamaian Pekak Sindi mengatakan, kawanan burung suka berburu bulir-bulir padi muda pada waktu pagi dan sore hari. Untuk mengusir kelompok burung itu, petani membunyikan kepuaan.

“Alat ini biasanya ditaruh di sawah, kalau ada kawanan burung baru dibunyikan. Kawanan burung biasanya mencari makan waktu pagi, sore sampai sekitar pukul tujuh malam,” kata Pekak Sindi. (Way)

KORANJURI.com di Google News