Sosok Pemimpin Bali dari Kacamata WBT

oleh
Wisnu Bawa Tenaya (WBT)

KORANJURI.COM – Berbicara tentang Bali, apa yang disebut sebagai Bali Dwipa, dapat kita lihat dari dua sisi, Bali sebagai Pulau Dewata dan Bali sebagai Pulau Pariwisata.

Mayjend (purn) TNI Wisnu Bawa Tenaya mengatakan, Bali dilihat dari sastranya, dari agamanya Dewata berasal dari kata Dev, yang juga bermakna Sinar, Cahaya, Terang. Dewata adalah Sinar yang akan memberikan Tuntunan, dalam hal ini kita berbicara masalah Agama, Culture (kebudayaan). Tak bisa dimungkiri, Bali didukung spirit agama yang kuat terutama dalam hal ini Agama dan Budaya Hindu.

Dalam konteks sebagai Pulau Pariwisata, berarti kita menyoroti masalah tontonan. Bicara soal pariwisata, jangan lupa dengan Sapta Pesona yang dicanangkan Kementerian Pariwisata, sebagai sebutan bagi Tujuh Unsur pengembangan dan pengelolaan daya tarik wisata di Indonesia, yakni Aman, Tertib, Bersih, Sejuk, Indah, Kenangan dan Ramah. Jadi hal yang paling pertama dibutuhkan di sini adalah Safety and Security, Kenyamanan dan Keamanan. Bagaimana kita mewujudkan Keamanan bagi Bali secara menyeluruh.

Kemudian barulah kita lihat Bali dari Nature (alamnya), kemudian Culture (budayanya), dan Handmade (karya seni). Untuk bisa menjaga semua ini tentunya tak bisa lepas dari apa yang telah dilakukan dan diwariskan oleh nenek moyang kita pada jaman dahulu. Alam Bali harus tetap bisa dijaga dengan baik.

Dari sisi alamnya jika kita lihat Bali memiliki topografi, geografi yang sangat bagus. Pulau Bali dengan sejumlah pulau kecil seperti Nusa Penida dan Serangan. Di Bali dikenal konsep Dewata Nawa Sanga yang sangat jelas. Bali juga memiliki pantai yang luas, juga terdapat 17 gunung yang membentuk satu rangkaian. Nah kalau kita lihat dari sisi itu, maka di Bali ada yang namanya konsep Nyegara Gunung. Jangan lupa, untuk menjaga keseimbangan kehidupan dan alam ini, terdapat: Sad Kertih ; Atma Kertih ; Samudra Kertih (kelestarian laut dan sumber alam di dalamnya ) Wana Kertih ( kelestarian hutan ), Danu Kertih ( kelestarian danau atau sumber air di daratan ), Jagat Kertih ( kelestarian hubungan sosial masyarakat ), dan Jana Kertih ( mengupayakan kualitas manusia sebagai individu yang ideal ). Unsur-unsur inilah yang harus diperhatikan, terus dijaga dan dipelihara.

Sad Kertih itu ujungnya ya lingkungan hidup. Jika kita melihat lingkungan hidup secara sempit , yakni yang berkaitan dengan masalah flora dan fauna. Bagaimana menjaga flora dan fauna ini demi keberlangsungan seluruh aspek kehidupan masyarakat. Mengapa hal ini harus dijaga, salah satunya karena erat pula kaitannya dengan agama Hindu di Bali. Mengapa demikian, Hindu Bali itu sangat unik, spesifik, khas.

Masalah flora misalnya, bagaimana kita mengupayakan agar pepohonan langka tetap lestari, dan di sisi lain masalah fauna, kelangsungan hidupnya juga terjaga. Sebagai contoh jika sekarang kita menyerukan kepada masyarakat kalau untuk keperluan upacara kurangi penggunaan buah impor, pakai buah lokal. Nah, buah lokalnya mana? Lalu kualitas buah lokalnya seperti apa? Kalau kita ngomong soal buah lokal, ya ayo kita tanam pohon buah lokal. Begitu pula berbagai tanaman penting, seperti pohon beringin, pohon asam, yang dulu begitu banyak ada dimana-mana. Bukankah pohon ini ada kaitannya dengan adat istiadat dan agama Hindu, seperti masyarakat di Bali saat upacara ngaben, ada tradisi ngangget don bingin. Mengapa sejak dulu pohon-pohon besar seperti beringin dihormati, bahkan kemudian diikat kain Poleng, itu sebagai cara untuk menghormati, cara berkomunikasi sesuai jamannya.

Bagaimana dengan fauna? Orang Bali membutuhkan banyak macam fauna atau hewan untuk kepentingan upacara seperti caru. Kalau kita lihat pola di masyarakat, kemudian kita kaitkan dengan pemahaman mengenai Dewata Nawa Sanga, tiap penjuru ada dewanya dengan senjata masing-masing, dan hewan masing-masing sebagai simbol. Ada kerbau, angsa, merak, singa, lembu, garuda. Nah, sekarang cari burung garuda di mana? Cari burung merak dimana? Lalu bagaimana caranya agar hewan-hewan itu tidak punah, dan untuk kepentingan upacara tetap terpenuhi, sekarang kita tanya ke Sulinggih. Bagaimana agar terhadap aturan pemerintah mengenai perlindungan satwa langka tidak dilanggar, itu bisa dicarikan jalan keluarnya.  Jadi konsep-konsep semacam itu perlu diterjemahkan lebih lanjut.

Dalam menghadapi berbagai permasalahan di masyarakat, perubahan dan tantangan jaman, tak bisa dimungkiri tentunya ada pro kontra, setuju dan tidak setuju, hitam dan putih, bukan abu-abu. Perlu ada ketegasan di sini. Adanya pro dan kontra salah satunya karena masih ada yang belum dicerdaskan. Nah, inilah PR, Pikiran dan Perasaan. Jika pikiran cerdas tapi hati tak tersentuh, ya masyarakat tidak akan mau mendukung. Karena itu perlu ada kontak, bertemu langsung dengan masyarakat.

Kita tidak bisa menghindari perubahan. Dalam segala aspek kehidupan ini, perubahan pasti ada. Perubahan itu alami, namun harus didasari dengan pemahaman yang baik dan benar. Sebagaimana kita berkendara naik mobil, kita melihat dari kaca jauh ke depan, namun spion untuk mengetahui yang di belakang kita lihat juga. Kita mengikuti perubahan dan perkembangan zaman, namun jangan sampai lupa dengan Kawitan. Jika kita tahu dan paham intinya, bahwa orangtua kita (Ayah dan Ibu) sebagai Kawitan, Batara kita, kita tak akan lupa. Sebagaimana pembangunan badan dan jiwa, fisik dan mental, Bali jangan kehilangan Kharisma nya, jangan kehilangan Taksu nya. Kalau itu hilang, susah. Kebudayaan, agama, kepercayaan, ini harus tetap dijaga.

“Kita harus bisa melihat Bali harus secara Komprehensif, Integral, General. Kalau dilihat sebagai kotak-kotak kecil, yang satu dilihat, sedangkan yang  lain  tidak dilihat, maka yang lain itu akan bisa marah. Jadi melihat dan menilai orang Bali jangan sepotong-sepotong. Kita perlu belajar saling menghormati, kalau itu bisa terjadi, maka akan bagus sekali. Dalam hidup bermasyarakat kita boleh berbeda keyakinan, tetapi ujung-ujungnya adalah harus berkelakuan baik. Kalau pengalaman batin tak ada, ini tak akan tercapai,” jelas Wisnu Bawa Tenaya ditemui di kediamannya, Minggu, 26 November 2017.

Manusa pada, manusia sama, kelahiran manusia sama, sekarang bagaimana mengisinya dalam perjalanan hidup, dengan mendidik manusianya sebagai manusia Bali dengan basic  agama , dharma (kebenaran, keadilan, etika moral). Selain dharma agama juga dharma sastra, ( knowledge and science )  dan skill plus attitude, yang diajarkan Bapak dan Ibu. Kuncinya adalah Tat Twam Asi, aku adalah kamu. Maka kita perlu pahami konsep desa kala patra, konsep jaba dan jero kita tahu. Pada akhirnya akan tercipta sikap saling asah, asih, dan asuh.

Di samping sebagai Pariwisata dan Dewata, PD pada Bali juga bisa dimaknai sebagai Percaya Diri, self confidence. Bagaimana membangkitkan rasa percaya diri untuk maju dan berkembang. Ini PR yang besar: Pemimpin Rakyat, Public Relations, Punishmen and Reward, Pikiran dan Perasaan. (Way)

KORANJURI.com di Google News