Rumput Laut Pernah Berjaya, Tapi Sekarang Tergeser oleh Dolar Pariwisata

oleh
Petani menjemur rumput laut di tengah panas terik untuk mendapatkan pengeringan maksimal. Selanjutnya, rumput laut kering akan diambil oleh pengepul - foto: Koranjuri.com

KORANJURI.COM – Gemerincing dolar mengubah persepsi warga di Kecamatan Nusa Penida untuk ramai-ramai beralih profesi dari petani rumput laut menjadi pelaku pariwisata. Nusa Penida adalah pulau terbesar yang menjadi ibukota kecamatan, biasa pula disebut Nusa Gede.

Di situ juga ada dua pulau yang lebih kecil yakni, Nusa Lembongan dan Nusa Ceningan. Ketiga pulau itu berada di wilayah administrasi Kabupaten Klungkung, Provinsi Bali.

BACA JUGA
Nusa Lembongan ‘Menyala’ di Malam Hari

Petani mengumpulkan rumput laut dalam kondisi masih basah usai dipanen – foto: Koranjuri.com

Rumput laut di Nusa Penida dan Nusa Lembongan pernah berjaya. Namun, perlahan tapi pasti warga yang dulunya mengandalkan ekonomi dari panen rumput laut, kini beralih ke pariwisata. Peluang untuk mendapatkan dolar lebih menjanjikan.

Bukan tanpa alasan rumput laut ditinggalkan. Harga kering rumput laut pasca panen anjlok menjadi Rp12.000 per kilogram. Padahal, dulu saat pandemi, harganya bisa tembus hingga Rp40.000 hingga Rp45.000 per kilogram.

Gede Sukrayasa, salah satu warga yang pernah menekuni pertanian rumput laut mengatakan, anjloknya harga rumput laut tidak dipengaruhi oleh kualitas panennya. Rumput laut Nusa Penida dan Lembongan tetap punya kualitas bagus. Dirinya sendiri tidak mengetahui pasti apa penyebab harga alga itu bisa turun drastis.

Gede Sukrayasa, pelaku pariwisata di Nusa Lembongan, Bali – foto: Koranjuri.com

“Kualitas masih tetap sama. Saat panen biasanya akan datang pengepul, mereka membeli dari petani kita kemudian dikirim ke Jawa. Dari sana akan diekspor ke negara-negara di Asia untuk kosmetik,” kata Gede Sukrayasa yang sekarang aktif di industri pariwisata Nusa Lembongan.

BACA JUGA
Mengapung di Atas Ponton Tengah Laut Pulau Nusa Lembongan

Gede mengungkapkan, yang tersisa dari para petani rumput laut itu adalah para warga yang berusia lanjut. Sebab, kalau ikut bersaing di dunia pariwisata mereka harus punya bekal, setidaknya penguasaan bahasa asing, Inggris. Petani rumput laut yang saat ini masih eksis, sebutlah tak punya pilihan lain kecuali tetap menggarap petak-petak areal tanam di perairan Nusa Lembongan.

Dunia hospitality memang menjanjikan untuk mendapatkan rejeki dari berkah alam yang indah dan melimpah di Pulau Nusa Lembongan. Namun, para warga berusia paruh baya itu tetap setia bercocok tanam alga, di tengah harganya yang bergejolak dan semakin tak menentu.

Ni Made Kartini bersama petani rumput laut yang lain tak punya pilihan, selain tetap menekuni profesinya untuk tetap bertahan.

“Dari hasil yang kita panen, sekitar setengahnya kita tanam lagi untuk dibudidayakan. Jadi, yang bisa kami jual cuma separo dari hasil panen,” kata Ni Made Kartini.

Setengah dari hasil panen yang bisa dijual itu, bukan hanya jadi satu-satunya faktor yang mengurangi pendapatan para petani. Saat masih dalam masa tanam pun, gelombang air laut akan merontokkan tanaman yang belum dipanen.

Rontokan itu akan tersebar terbawa gelombang air kemana saja. Kondisi itu dimanfaatkan oleh orang lain untuk mengais potongan tanaman rumput laut dan dikumpulkan untuk dijual. Praktis, pendapatan para petani juga akan menyusut dengan kondisi alam yang menguntungkan para ‘pemulung’ rumput laut.

Tapi, pola tradisional budidaya rumput laut di Nusa Lembongan tetap berjalan seperti yang pernah ada pada masa kejayaan rumput laut di perairan Pulau Nusa di Bali. (Way)