Ritual Mistis Jolenan di Bukit Menoreh

oleh
Kirab jolen, bagian dari ritual merti desa Jolenan yang dilaksanakan masyarakat Desa Somongari, Kaligesing, Purworejo, setiap 2 tahun sekali - foto: Sujono/Koranjuri.com

KORANJURI.COM – Setiap 2 tahun sekali, masyarakat Desa Somongari, Kaligesing, Purworejo menggelar Ritual Merti Desa Jolenan. Ritual yang penuh muatan mistis ini, dilaksanakan setiap hari Selasa Wage, bulan Sapar tahun Jawa.

Untuk tahun ini, Jolenan digelar pada hari Selasa Wage (31/10), dengan dihadiri Bupati Purworejo Agus Bastian, Kapolres Purworejo, AKBP Teguh Tri Prasetya, perwakilan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Propinsi Jateng, serta segenap tamu undangan.

Acara makin istimewa, dengan hadirnya 2 turis asal Jerman, Liony dan Sofy, yang khusus datang ke Somongari untuk menyaksikan ritual Merti Desa Jolenan.

Dalam kesempatan tersebut, Bupati Agus Bastian menjelaskan, bahwa kirab Jolenan Somongari mendapatkan apresiasi dari pemerintah, melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Hal itu ditandai dengan penetapan Jolenan Somongari sebagai Warisan Budaya Takbenda Indonesia, oleh menteri Pendidikan dan Kebudayaan tanggal 27 Oktober 2016, dengan keputusan no: 63379/MPK.E/KB/2016.

“Sebenarnya, di Purworejo masih banyak potensi budaya yang dapat diusulkan sebagai Warisan Budaya Takbenda Indonesia,” kata Agus Bastian.

Kirab Jolenan Somongari secara resmi dibuka Bupati Agus Bastian, yang ditandai dengan pemukulan bende. Namun sebelum itu, ada penyerahan sertifikat dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, tentang Jolenan Somongari sebagai Warisan Budaya Takbenda Indonesia, kepada Agus Bastian. Penyerahan dilakukan oleh Bambang Supriono, perwakikan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Propinsi Jateng.

Menurut Sungkono, sesepuh masyarakat Somongari, ada sekitar 46 Jolen yang dikirab dengan mengelilingi desa. Ritual yang dilaksanakan warga di gugusan perbukitan Menoreh bagian Barat Daya, 12 km arah Tenggara dari Kota Purworejo ini, sebagai wujud syukur atas limpahan rejeki dari Yang Maha Kuasa, atas hasil pertanian seperti duren, manggis, palawija maupun cengkeh.

“Jolenan memiliki makna ojo kelalen atau ojo lali. Maksudnya, kita tidak boleh lupa atau kita harus selalu ingat dengan Tuhan Yang Maha Esa yang telah melimpahkan rezeki selama ini untuk kesejahteraan warga Somongari,” ujar jelas Sungkono

Ritual dimulai sekitar pukul 11.00 WIB, di halaman Pesarean Eyang Kedhono-Kedhini, leluhur setempat, dan berakhir di balai Desa Somongari. Dalam festival ini, setiap dusun di wilayah Somongari akan mempersembahkan Jolen, yang terbuat dari bambu berbentuk piramid, yang berisi beraneka ragam hasil bumi, tumpeng, ingkung, dan jajan pasar, yang diarak keliling desa, untuk selanjutnya diperebutkan warga.

“Mitosnya, siapa yang berhasil mengambil salah satu isi Jolen, akan mendapatkan berkah, dan hasil panennya akan melimpah. Bisa juga untuk tolak balak,” ungkap Sungkono.

Cerita Sungkono, tradisi Jolenan sudah berlangsung sejak turun temurun, dari jaman Kolonial Belanda. Prosesi Jolenan hampir sama seperti perayaan Sekaten di Keraton Yogyakarta.

Usai kirab jolen, dilanjutkan dengan kenduri bersama, yang diikuti seluruh warga Somongari. Dan sebagai akhir ritual, digelar pentas seni tayub sebagai hiburan hingga dini hari.

“Setiap kali Jolenan digelar, selalu dipadati ribuan pengunjung,” pungkas Sungkono. (Jon)

KORANJURI.com di Google News