KORANJURI.COM – Fakta PPKM Jawa-Bali menunjukkan angka penurunan masih belum signifikan. Angka harian covid-19 terus bertambah. Bahkan muncul klaster baru.
Yang terjadi selama penerapan PPKM tersebut, justru membuat rakyat semakin tersungkur. Di satu sisi, ketahanan sektor ekonomi dengan segala aspeknya semakin merosot. Sementara perkembangan penyebaran Covid-19 juga tidak semakin menurun. Bahkan data menunjukkan, malah semakin terjadi peningkatan di banyak wilayah.
“Ironisnya, mengapa justru pemerintah malah berencana akan memperpanjang lagi masa PPKM tahap I, yang seharusnya berakhir pada tanggal 25 Januari 2021 nanti,” jelas BRM, Kusumo Putro, SH, MH (47), demi mengetahui rencana perpanjangan PPKM tersebut.
Seperti diketahui, Dirjen Bina Administrasi Kewilayahan Kemendagri, Syafrizal, mengatakan, bahwa pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) di sebagian Jawa-Bali akan diperpanjang. Kebijakan itu diambil lantaran kasus Covid-19 dianggap belum juga mereda.
“Saat ini memang kita mengambil beberapa Provinsi prioritas untuk monitoring. Terutama provinsi yang berwarna merah atau kategori tinggi. Dan Jawa-Bali sudah ditetapkan untuk PPKM, serta angka terakhir belum menunjukkan penurunan angka positivity rate yang signifikan,” ujar Safrizal dalam acara Sosialisasi Surat Edaran Nomor 903/145/SJ yang disiarkan langsung melalui kanal YouTube, pada Rabu (20/1/2021).
Perpanjangan Tahap II itu, akan dilakukan sekitar dua minggu seperti PPKM tahap I. Jika melihat perkembangan dan fakta yang ada, jelas rencana tersebut merupakan kebijakan yang sembrono. Bahkan hanya berujung menjadikan kehidupan sosial ekonomi rakyat menjadi lebih terpuruk. Permasalahan sosial yang lebih besar sangat mungkin terjadi, jika perpanjangan PPKM tersebut benar-benar diterapkan.
Jika mengurai dari kasus atau obyek virus itu sendiri, sebenarnya banyak masalah atau tindakan terkait pencegahan Covid-19 yang sangat rancu. Bahkan bisa dibilang tidak masuk akal jika dikaitkan dengan penerapan PPKM tersebut.
Secara global atau garis besar, PPKM adalah membatasi kegiatan atau aktivitas sosial masyarakat. Termasuk dalam hal mencari makan, atau mata pencaharian rakyat yang sangat fundamental dalam hak hidupnya. Termasuk di dalamnya juga pembatasan jam operasional kegiatan usaha di malam hari
“Namun mengapa kegiatan sosial hanya dibatasi pada kondisi malam saja. Padahal belum ada penelitian, apakah virus Covid-19 tersebut lebih ganas penyebarannya di waktu malam hari dibandingkan dengan di siang hari,” papar Kusumo yang juga ketua LSM Lapaan RI (Lembaga Penyelamat Asset dan Anggaran Belanja Negara Republik Indonesia ) Jateng ini.
Jika alasannya bukan karena sifat si obyek virus itu sendiri, namun karena soal teknis penyebarannya. Yaitu untuk menghindari atau mengurangi potensi kerumunan, tentu saja juga merupakan hal yang mengada-ada. Karena justru di siang hari, mobilitas sosial yang berpotensi kerumunan sangat tinggi dibandingkan malam hari. Namun mengapa PPKM hanya diprioritaskan pada pembatasan aktivitas malam saja.
Menurut pria yang juga dikenal sebagai Tokoh Penggiat Sosial Kebijakan Publik ini, banyak fakta yang sebenarnya perlu dikritisi. Di siang hari ada beberapa titik kegiatan sosial ekonomi, yang paling berpotensi menjadi titik atau cluster penyebaran Covid-19. Yaitu kegiatan pabrik, Bursa Grosir, Pasar Tradisional, serta Mall, atau super market.
Tempat-tempat tersebut jelas justru yang paling rawan, atau sangat potensial akan penyebaran virus itu sendiri. Apalagi sifat virus itu sendiri memang dikenal sangat unik dalam dunia medis. Tidak seperti virus lain yang mudah dikenali. Seperti tanda-tanda flu. Misalnya panas tubuh, batuk, pilek, hidung tersumbat, sesak nafas, atau gejala lainnya.
“Sehingga Orang Tanpa Gejala (OTG) pun, bisa jadi merupakan media penyebaran virus yang paling efektif. Padahal mereka (OTG), tak bisa dideteksi hanya dengan standart protokol kesehatan (prokes) yang selama ini diterapkan,” papar Kusumo Putro lagi.
Selama ini bisa kita lihat, penerapan prokes di tempat-tempat tersebut, hanya berkutat pada 3M (Cuci Tangan, Pakai Masker, dan Jaga Jarak). Adapun paling banter orang yang masuk ke lokasi tersebut hanya di-cek suhu panas tubuhnya. Bahkan banyak sekali pasar-pasar tradisional, yang dengan bebas tidak melakukan cek suhu tubuh tersebut. Semua orang bebas keluar masuk pasar tanpa seleksi. Padahal indikator orang terpapar virus Covid-19, tidak sesederhana itu.
Hasil yang paling valid, disepakati oleh standar kesehatan, adalah melalui mekanisme test. Meskipun jenis test pendeteksian virus tersebut juga masih bermacam-macam. Ada rapid test, swab test, bahkan test dengan embel-embel test antigen. Semua istilah tersebut, secara medis, masyarakat awam hanya percaya pada kebijakan atau pemangku kesehatan yang ada.
Jika prokes di tempat kerumunan tersebut hanya diterapkan secara sederhana, tentu bukan jaminan akan adanya penurunan, atau risiko penyebaran corona semakin berkurang. Dan hal tersebut tentu menjadi tanggung-jawab para penyelenggara kerumunan atau aktivitas sosial (ekonomi) tersebut. Misalnya pengusaha pabrik wajib melakukan test swab para karyawan secara berkala.
“Begitu pula pusat grosir, mall, ataupun pasar tradisonal. Harus membuat sebuah sistem pencegahan yang benar-benar valid dari segi kesehatan per individu yang terlibat,” beber pria yang juga dikenal sangat Getol Menyoroti Masalah Tindak Pidana Korupsi ini.
Jika para pemilik, penyelenggara, atau penanggung-jawab kerumunan tersebut tidak sanggup, tentu akan menjadi tugas negara sebagai lembaga yang harus benar-benar melindungi rakyatnya. Karena seperti dikatakan oleh azas atau kewajiban negara adalah, bahwa keselamatan rakyat adalah hukum yang tertinggi. Jadi dengan cara apapun, negara harus bisa melindungi rakyatnya dari semua bencana. Termasuk dari wabah pandemi Covid-19 tersebut.
Sementara itu diluar fakta penyebaran virus, jelas sudah terjadi masalah sosial yang lebih mengerikan. Dengan adanya penerapan PPKM tersebut, kondisi sosial masyarakat langsung terdampak dengan sangat keras. Semua sektor usaha ekonomi langsung lumpuh. Hanya pemodal kuat yang mungkin masih bisa bertahan dengan capital simpanannya.
“Namun masyarakat pengusaha kecil. Seperti pedagang kaki lima, usaha kuliner malam, atau usaha hiburan rakyat skala kecil lainnya langsung bisa dikatakan kolap atau mati mendadak,” sambung Kusumo lagi.
Padahal selama ini, mereka adalah para pahlawan penyumbang Pendapatan Anggaran Daerah (PAD) yang tidak bisa dianggap remeh. Saat mereka menjalankan kegiatan sosial ekonominya di jalan, mereka juga dipungut retribusi. Yang jika dikumpulkan dalam setahun, jumlah retribusi tersebut tentu sangat besar untuk modal pembangunan daerah masing-masing.
Dampak yang lebih luas, bisa dilihat dalam sektor pariwisata pada umumnya. Bahkan sebelum adanya PPKM saja, sektor pariwisata bisa dikatakan gulung tikar. Kini banyak pelaku sektor wisata yang beralih, atau sekedar bertahan ke sektor ekonomi lain, ternyata masih harus gigit jari dengan adanya PPKM tersebut. Ibarat pepatah, sudah jatuh tertimpa tangga.
Apalagi wilayah Bali. Selama ini dikenal sebagai pusat wisata dunia. Tentu dampak PPKM akan sangat terasa di sana. Lebih dari 70% kegiatan sosial ekonomi di Bali, menggantungkan hidup di sektor ekonomi wisata dan ekonomi kreatif lainnya. Tentu menjadi ironis jika PPKM dijadikan sebuah solusi yang berkepanjangan.
Bayangkan saja, dengan adanya penerapan PPKM, semua jadwal penerbangan juga ikut terkena imbasnya. Jadwal paket-paket wisata yang sudah sedikit mulai membaik, terpaksa harus hancur di tengah jalan lagi. Masyarakat yang sudah terbiasa, atau memang hanya bisa mengais rejeki di malam hari, juga bingung. Dan akhirnya cuma bisa pasrah.
“Bahkan saya berani bertaruh. Jika diadakan semacam pooling atau pengumpulan pendapat. Mungkin tak sampai 10% masyarakat Indonesia yang setuju diberlakukannya PPKM tersebut. Saya yakin lebih dari 90% masyarakat sangat tidak setuju dengan penerapan sistim PPKM itu,” imbuh Kusumo yang dikenal sangat lugas, berbahasa sederhana, mudah dimengerti oleh masyarakat awam, namun tetap tegas ini, dalam setiap penyampaian kritiknya terhadap kebijakan-kebijakan yang dianggap tidak pro rakyat.
Jika kondisi tersebut dibiarkan berlarut-larut, tentu masalah sosial yang sangat serius bisa terjadi. Bisa jadi akan memicu keresahan sosial. Dan pada gilirannya secara logika, bisa juga justru menambah deretan angka kriminalitas. Tentu hal tersebut tidak diinginkan oleh semua pihak.
Melihat semua paparan dan fakta di atas, bisa ditarik kesimpulan. Bahwa penerapan PPKM benar-benar sangat tidak efektif untuk dilaksanakan. Terbukti pada tahap I saja, kasus penyebaran Covid-19 masih tinggi. Jadi jika masa PPKM akan diperpanjang, tentu hanya akan membuang energi, waktu, dan tentunya resiko sosial yang sangat tinggi. Jangan sampai pemerintah gegabah atau sembrono dalam membuat keputusan. Yang pada akhirnya hanya akan merugikan rakyat, baik secara mental ataupun fisik.
“Menurut saya, tak ada solusi lain, selain pemerintah harus mempercepat program vaksinasi kepada seluruh rakyat tanpa kecuali, tanpa diskriminasi,” tegasnya dengan serius.
Selain penerapan prokes yang semakin ketat. Baik prokes untuk kegiatan siang atau malam hari, pemberian vaksin Covid-19 harus segera terealisasi. Tidak bisa tidak, pemerintah harus cepat-cepat memberikan vaksin tersebut. Ibaratnya seperti berlomba dengan waktu, demi terwujudnya masyarakat yang sehat, sejahtera, aman seperti idaman bersama.
Terkait masalah vaksinasi tersebut, mungkin banyak masyarakat yang belum tahu. Bahwa ternyata, program vaksinasi Covid-19, idealnya dilakukan selama dua kali kepada setiap individu. Hal ini terkuak dari pengakuan para nakes (Tenaga kesehatan), yang sudah lebih dulu mendapat prioritas pemberian vaksin dari pemerintah.
Setiap nakes mendapat suntikan vaksin selama dua kali. Saat ini tahap pertama (suntikan pertama) sudah dilaksanakan. Dan dari sumber resmi beberapa nakes di salah satu rumah sakit swasta terkenal di Solo, tahap pemberian vaksin tahap kedua akan dilakukan setelah 15 hari dari suntikan pertama.
“Jika prosedurnya seperti itu, tentu menjadi tugas pemerintah untuk menyediakan vaksin minimal dua kali dari jumlah penduduk. Atau lebih tepatnya jumlah kuota penduduk yang diprioritaskan mendapat vaksin Covid-19 tersebut,” terang Kusumo yang juga seorang anggota Advocad di DPC PERADI kota Surakarta, dan sekarang masih menyelesaikan studi program S3 ilmu hukum di Universitas ternama di kota Semarang ini.
Sekedar diketahui, pemerintah memang memprioritaskan masyarakat yang divaksin berdasarkan kriteria. Ada sekitar 180 juta penduduk yang mendapat program vaksinasi tersebut. Pertama dari pejabat negara, nakes, PNS, TNI, POLRI, serta terakhir masyarakat umum. Untuk masyarakat umum juga diprioritaskan hanya untuk umur 18 ke atas hingga 59 tahun. Lalu bagaimana dengan masyarakat di luar kriteria itu? Entahlah…masih menunggu kebijakan pemangku kesehatan.
Yang jelas solusi paling tepat saat ini adalah mempercepat program vaksinasi Covid-19 yang kini sudah mulai dilaksanakan.. Daripada harus memperpanjang PPKM, yang terbukti tidak menjadikan penurunan penyebaran Covid-19.
“Kami sangat mendukung sekali program vaksinasi oleh negara ini. Dan fokus percepatan ke vaksinasi tersebut, saya kira lebih tepat, dibandingkan membatasi operasional sejumlah usaha yang merupakan mata pencaharian sehari-hari masyarakat Indonesia,” pungkas Kusumo mengakhiri bincang-bincang santai dengan beberapa awak media pada hari Jumat (22/01/2021). (Dia)