‘Keseimbangan’ di Titik Nadir, Ungkapan Kegelisahan Komunitas Nitirupa

oleh
Komunitas Nitirupa menggelar pameran bersama bertema 'Samya' di Santrian Gallery, Sanur. Pameran dibuka Jumat (13/9/2019) dan akan berlangsung hingga 31 Oktober 2019 - foto: Istimewa

KORANJURI.COM – Sebanyak 20 lukisan karya dari sepuluh orang perupa yang terhimpun dalam Komunitas Nitirupa dipamerkan dalam pameran bersama bertema ‘Samya’ di Santrian Gallery, Sanur. Pameran dibuka Jumat (13/9/2019) dan akan berlangsung hingga 31 Oktober 2019.

Pameran dibuka artis sekaligus pencinta seni, Jero Happy Salma. Adapun 10 perupa yang ambil bagian adalah Galung Wiratmaja, Loka Suara, Made Gunawan, Made Wiradana, Nyoman Sujana Kenyem, Pande Alit Wijaya Suta, Putu Bambang Juliarta, Teja Astawa, Uuk Paramahita, dan Wayan Redika.

Koordinator Komunitas Nitirupa, Wayan Redika menyebut tema ‘Samya’ diambil dari kata Kawi atau Jawa Kuno yang mengandung arti ‘seimbang’ atau ‘keseimbangan’.

“Idenya berangkat dari perbincangan soal isu-isu kekinian, ketika kami melihat keseimbangan yang telah berada di titik nadir,” ujarnya.

Tema keseimbangan itu direspon para perupa dengan berbagai wujud visualisasi, yang pada dasarnya merupakan respon atas kondisi lingkungan, ekonomi, politik, nasionalisme, dan lain-lain. Menurut penilaiannya, saat ini ketidakseimbangan telah berjalan sedemikian rupa dan mengancam tatanan hidup, termasuk di Bali.

“Masyarakat Pulau Dewata punya Tri Hita Karana, tapi Bali sendiri kini semakin kehilangan wujud kesadaran dalam memberi arti yang sebenarnya atas filosofi adiluhung tersebut,” katanya.

“Karya yang kami pamerkan adalah wujud tangkapan-tangkapan pikir soal keseimbangan dan ketidakseimbangan yang dijadikan landasan pijak visualisasi. Topik yang dihadirkan setiap perupa sangat beragam, mulai prihal lingkungan, politik, nasionalisme, dan berbagai persoalan aktual lainnya,” imbuhnya.

Sementara itu, Galung Wiratmaja menjelaskan, keseimbangan sejatinya puncak pergolakan pikir yang bukan berakhir di satu titik. Dalam upaya ink, Samya yang diharap dapat menjalankan tugasnya dengan baik menjadi tema pameran dan menyebarkan pesan para perupa.

Terkaiy pemilihan tema, ia menyatakan memang sempat terjadi timbang oandnag di kalangan perupa.

“Perupa yang lebih muda sempat mengajukan tema dengan bahasa yang lebih modern, misalnya dengan kata Inggris, balance, tapi, akhirnya kita memilih samya agar dijiwai kebudayaan kita” ungkapnya. (*)

KORANJURI.com di Google News