KORANJURI.COM – Langkah pemerintah untuk melakukan penyesuaian harga BBM merupakan salah satu bentuk mitigasi resiko yang dilakukan pemerintah untuk mencegah Indonesia terkena dampak resesi.
Direktur Riset Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Berly Martawardaya memandang, tren harga minyak dunia terus mengalami kenaikan. Sejak awal tahun hingga masuk di semester kedua menyentuh pada nilai USD105/barel.
“Hal itu tentu memberikan tekanan terhadap anggaran subsidi dan kompensasi energi yang dianggarkan pemerintah,” kata Berly.
Menurutnya, itu merupakan bentuk mitigasi resiko yang diambil pemerintah sebagai akibat dari situasi global yang penuh dengan ketidakpastian.
Tahun 2022 awal, APBN mengalokasikan Rp 152,5 triliun untuk anggaran subsidi dan kompensasi. Asumsi, harga minyak dunia masih berkisar USD60.
Kenaikan, harga minyak dunia yang terus signifikan, mendorong pemerintah melakukan penyesuaian anggaran subsidi kompensasi sebesar Ro 502,4 triliun yang tertuang pada Perpres Nomer 98 Tahun 2022.
Berly menilai, pemerintah perlu mengambil langkah baru untuk menyelesaikan persoalan itu.
Sedangkan, Prof. Imron Cotan selalu pemerhati isu-isu strategis juga berpendapat, penyesuaian harga BBM merupakan upaya efisiensi APBN untuk pemanfaatan Energi Baru Terbarukan (EBT).
Program subsidi BBM, kata Imron, masih belum tepat sasaran. Penggunaan solar 89% dinikmati oleh dunia usaha dan hanya 11% dikonsumsi rumah tangga.
Pertalite sendiri, menurut Imron, 86% untuk konsumsi rumah tangga, 80% dinikmati oleh rumah tangga yang mampu sedangkan hanya senilai 20% dinikmati oleh kalangan yang tidak mampu.
“Pemerintah sendiri tidak semata-mata mengurangi subsidi, namun mengalokasikan subsidi kepada masyarakat yang berhak dan membutuhkan melalui skema perlindungan sosial,” kata Imron.
Pemerintah juga perlu melakukan persiapan untuk skema perlindungan sosial guna menjaga daya beli masyarakat.
“Sekaligus untuk menjaga momentum positif pemulihan ekonomi Indonesia,” ujarnya. (Bob)