KORANJURI.COM – Korban perdagangan manusia atau human trafficking asal Solo, MR (16) mengaku ditempatkan di tengah hutan yang tak diketahui rimbanya. Yang diingat hanya pepohonan lebat dengan sejumlah bangunan kafe tanpa pemukiman penduduk, serta jalanan aspal yang rusak.
Kasus MR mencuat setelah KTM, ibunya, membuat laporan anak hilang ke unit PPA Polresta Surakarta, 7 April 2016 lalu. Gadis yang masih duduk di bangku kelas 3 SMP itu tidak pulang selama 3 bulan.
Namun, dua pekan setelah laporan dibuat, pada 18 April 2016, MR diketahui sudah kembali ke rumah orangtuanya di Kecamatan Serengan, Solo, Jawa Tengah. Dari situlah diketahui MR bersama satu korban lainnya bernama FY yang juga berasal dari Solo menjadi korban perdagangan manusia. FY ini bahkan belum lulus Sekolah Dasar.
Ia diterbangkan oleh ‘penjualnya’ ke Barong, Tongkol, Kutai Barat, Kalimantan Timur untuk dijadikan Lady Escort (LC). Korban MR menjelaskan istilah LC itu tanpa bisa menjelaskan kepanjangan dari singkatan yang dimaksud.
“Anak itu dibujuk dan diambil untuk diajak kerja ke Kalimantan pada saat bermain bersama kelompoknya pada malam hari. Hari itu juga korban dibawa ke sebuah rumah penampungan di daerah Perumahan Palur,” kata Achmad Bachrudin Bakri , pendamping advokasi korban dari Solidaritas Perempuan untuk Kemanusiaan dan Hak Asasi Manusia (Spek-HAM).
Sesampainya di Kalimantan, menurut pengakuan MR, ia ditempatkan di sebuah rumah kafe. Disana ada sekitar 19 anak yang semuanya berasal dari Solo dan satu anak dari Sragen.
Dalam perkembangan kasusnya, 2 Mei 2016 lalu, Polresta Surakarta akhirnya menangkap pasangan suami istri warga Palur, Sukoharjo Jawa Tengah, sebagai tersangka perdagangan orang. Polda Jawa Tengah kemudian mengambil alih kasus tersebut karena locusnya berada di dua wilayah yang berbeda.
Jk