KORANJURI.COM – DPD Partai Golkar Kabupaten Purworejo, sedang mengusulkan pelaksanaan musda, dengan agenda utama pemilihan ketua pada 9 Januari 2021 mendatang.
Bursa pencalonan ketua makin ramai, dengan pendeklarasian Imam Teguh Purnomo sebagai kandidat ketua, yang mengklaim telah memiliki dukungan lebih dari 30 persen, sebagai salah satu syarat untuk bisa maju menjadi calon ketua.
Menanggapi hal ini, salah satu tokoh Partai Golkar Purworejo, yang juga Ketua Depicab SOKSI Kabupaten Purworejo, Arie Edie Prasetyo berharap, musda yang akan dilaksanakan tersebut, nantinya bisa membawa perbaikan ke depannya.
“Untuk ketua baru yang nanti terpilih, siapapun itu, saya berharap, Golkar Purworejo ada perubahan yang lebih baik,” ujar Arie, Kamis (07/01/2021).
Arie melihat, Golkar sekarang tidak seperti dulu. Sistem yang berjalan di Golkar, lebih banyak ke transaksional, dan tidak lagi menggunakan sistem kader.
Arie menginginkan, melihat Golkar kembali kepada khitahnya. Sebagai partai yang tengah, yang tidak ekstrim kanan, tidak ekstrim kiri, dan dalam perilaku kegiatannya mendasarkan pada doktrin Golkar, Karya Siaga Gatra Praja, pada ikrar Panca Bakti pada Himne Golkar, pada Mars Golkar.
“Itu yang pokok. Saya melihat, bahwa kepemimpinan Golkar pada dekade akhir-akhir ini kurang begitu sehat, dilihat dari kepentingan organisasi kader,” kata Arie menyampaikan pandangannya.
Menurutnya, ada partai tokoh, ada partai kader. Untuk Golkar, bukan partai tokoh. Pemimpin harus bisa menjalankan kewajibannya, sebagai pemimpin organisasi tipe kader.
Kata Arie, ada kedekatan emosional antara pemimpin dengan yang dipimpin melalui sistem kaderisasi. Sementara yang terjadi saat ini, Golkar ‘diarahkan’ sistemya ke sistem feodal, sekaligus juga akan mengarah ke sistem kaderisasi yang bersifat Premordial.
“Pemimpin yang menjadi patokan, bukan program. Harusnya program. Akhirnya membentuk kultur individu. Secara teori organisasi, itu tidak sehat. Sistem dinasti tidak sehat dalam jangka panjang,” ungkap Arie.
Tokoh Golkar Purworejo ini ingin, Golkar dikembalikan sebagai partai kader. Tidak menjadi partai yang bersifat dinasti dan feodal. Kedekatan orang tidak pada program, tapi pada kultur individu.
Arie melihat indikator ini, tidak manunggalnya antara pemimpin dan yang dipimpin. Hubungan emosionalnya semu, dan lebih cenderung ke rasa sungkan atau takut.
Ada ketidaknyamanan dari para anggota organisasi dalam rangka berorganisasi. Ada figur-figur yang dikuatkan untuk mematikan sistem berorganisasi, dan lebih cenderung ke sifat kediktatoran.
“Sehingga jika akhirnya muncul ‘sempalan’, tentunya dia punya pendukung,” pungkas Arie. (Jon)