Juru Bicara PB XIV Sebut SK Mendagri 2017 Memicu Konflik Internal di Keraton Surakarta

oleh
Suasana Keraton Kasunanan Surakarta pasca wafatnya Sinuhun Ingkang Sampeyan Dalem Ingkang Sinuhun Kanjeng Susuhunan (SISKS) Paku Buwono XIII, Minggu, 2 November 2025 - foto: Koranjuri.com

KORANJURI.COM – Juru bicara dan penasihat hukum Pakubuwono XIV KP Sionit T. Martin Gea Pradatanagoro menilai, Keputusan Menteri Dalam Negeri No. 430-2933 Tahun 2017 tertanggal 21 April 2017, memicu perseteruan internal di Keraton Kasunanan Surakarta.

Dokumen itu berisi tentang penetapan status dan pengelolaan Keraton Kasunanan Surakarta. Pradatanagoro mengatakan, tafsir keliru berimbas pada polemik suksesi kepemimpinan pasca wafatnya SISKS Pakoe Boewono XIII.

“Polemik bermula dari butir ke lima SK Mendagri, yang ditafsirkan seolah-olah di Keraton ada mekanisme Raja Ad-Interim,” kata Pradatanagoro dalam keterangannya, Jumat, 21 November 2025.

Menurutnya, ad interim konsep yang tidak pernah dikenal dalam tradisi, hukum adat, maupun struktur historis kepemimpinan di Keraton Surakarta.

Ditambahkan, butir itu hanya mengatur fungsi Maha Menteri untuk mendampingi almarhum SISKS Pakoe Boewono XIII dalam pengelolaan Keraton. Namun lanjutnya, penggunaan kata ‘mendampingi’ telah menimbulkan pergeseran makna dan situasi faktual.

“Karena dalam tradisi keraton sesuai butir 1.10 Nota Kesepahaman 22 Mei 2012, fungsi Maha Menteri adalah membantu, bukan mendampingi apalagi menggantikan fungsi Raja,” jelas Pradatanagoro

“Tidak ada satu pun kalimat atau frasa dalam SK tersebut yang menyebutkan adanya fungsi Raja Ad-Interim,” tambahnya.

Pradatanagoro mengatakan, SK Mendagri 2017 itu, bahkan tidak pernah dikomunikasikan terlebih dahulu kepada almarhum SISKS Pakoe Boewono XIII. Kemudian, digunakan sebagian pihak sebagai dasar legitimasi kelompok tertentu pada masa transisi kepemimpinan.

Dijelaskan, secara hukum administrasi pemerintahan, SK Mendagri merupakan beschikking yang merupakan keputusan tata usaha negara yang tidak boleh bertentangan dengan aturan yang lebih tinggi.

Sebagaimana, diamanahkan pasal 8 ayat (2) UU No. 12 Tahun 2011 tentang pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.

Namun faktanya, kata Pradatanagoro, butir ke lima SK Mendagri bertentangan dengan Pasal 2 Keputusan Presiden No. 23 Tahun 1988 tentang status dan pengelolaan Keraton Surakarta.

“Tidak ada satu pun materi pasal 2 Kepres 23/1988 yang memerintahkan Menteri Dalam Negeri untuk mengatur mekanisme pendampingan Raja oleh Maha Menteri,” jelasnya.

Dirinya menilai, pergeseran frasa dari ‘membantu’ menjadi ‘mendampingi’, membuka celah konflik berkepanjangan. Pradatanagoro menyatakan, frasa itu mengganggu proses suksesi hingga naiknya raja baru SISKS Pakoe Boewono XIV, Puruboyo.

“Presiden hanya menetapkan status dan pengelolaan keraton sebagai cagar budaya, bukan mengubah struktur kepemimpinan tradisional,” jelas Pradatanagoro.

Dirinya mendesak pemerintah melakukan evaluasi dan koreksi terhadap SK Mendagri No. 430-2933 Tahun 2017 agar tidak terus menjadi sumber salah tafsir dan konflik baru.

“Keraton adalah institusi adat yang sarat nilai sejarah. Negara semestinya melindungi, bukan menciptakan celah perpecahan melalui regulasi yang multitafsir,” jelasnya. (*/Way/Djk)

No More Posts Available.

No more pages to load.