KORANJURI.COM – Tiga pembina Yayasan Manggala Praja Adi Purwa (YMPAP), sebagai pendiri Akper Pemkab Purworejo (Akta 35 tahun 2002), menggugat pendiri yayasan baru pengelola Akper Pemkab Purworejo, Yayasan Manggala Praja Adi Purwa Purworejo (YMPAPP).
Gugatan perdata dilakukan oleh Slamet Darsono, Bejo Pranoto, dan Sururi sebagai pembina di YMPAP kepada pendiri YMPAPP, yang pendiriannya berdasarkan Akta Notaris Sri Rahayu Kasriyani, SH No 1 Tahun 2016 di Demak, yakni, Sumardi, Sarjana, dan Hendarto Abdul Majid, serta pihak pihak yang ditunjuk menjadi pembina, pengurus dan pengawas di YMPAPP.
“Tahap gugatan, sampai saat ini sudah ke pemeriksaan saksi penggugat, pada Kamis (14/01/2021) lalu,” jelas Dewa Antara, SH, pengacara penggugat, Jum’at (15/01/2021).
Gugatan keperdataan, kata Dewa, berkaitan dengan rapat dari akta 35 tahun 2002, yang dilaksanakan oleh pembina-pembina yang lain, tetapi melanggar dari AD/ART yang terdapat dalam akta 35 tersebut.
Salah satunya, kalau rapat itu berkaitan dengan perubahan anggaran dasar, berkaitan dengan perubahan nama yayasan, maka kuorumnya dua pertiga. Tetapi ini nggak ada dua pertiga, hanya dihadiri oleh 4 orang dari 9 pembina yang masih hidup.
“Sehingga melanggar aturan kuorum. Inti materi gugatannya itu. Maka meminta supaya rapat yang dilaksanakan tanggal 9 Mei 2016 itu batal demi hukum dan dianggap tidak pernah ada,” ujar Dewa .
Maka, kata Dewa, dikembalikan ke akta 35. Biarlah pembina yang masih hidup itu melakukan rapat, bagaimana untuk menentukan kelanjutan dari akta 35, Yayasan Manggala Praja Adi Pura tersebut.
Dewa berharap, Kamis (21/01/2021) minggu depan, akan ada keterangan dari saksi ahli dari UGM dari kita. Saksi ahli ini akan menjelaskan, berkaitan dengan yayasan. Apakah itu memenuhi kuorum atau tidak, biar ahli yang menilai yayasan.
Kemudian, jelas Dewa, berkaitan dengan bagaimana cara prosedur yang sesuai dengan aturan perundang-undangan untuk menyelesaikan persoalan hukum atas yayasan yang seperti ini. Karena akta 35 didirikan tahun 2002, sebelum undang-undang yayasan diberlakukan tahun 2004.
Akta 35 tahun 2002 ini, ungkap Dewa, hanya didaftarkan di pengadilan negeri. Sedangkan pada UU 16 tahun 2001 tentang yayasan yang telah diubah dengan UU no 28 tahun 2004 tentang perubahan UU no 16 tahun 2001 tentang yayasan, mewajibkan, setiap yayasan yang berdiri sebelum ada UU ini, segera mendaftarkan ke Kemenkumham, dan diberi waktu sampai 2 tahun.
Namun setelah 2 tahun, akte ini belum didaftarkan ke Kemenkumham. Baru di 2007 didaftarkan ke Kemenkumham, tapi ditolak, karena ternyata di dalam akta notaris 35 ini mengandung cacat hukum yang melanggar UU tentang Yayasan.
“Karena nggak boleh, maka dibuatlah akte notaris yang seolah-olah berdiri sendiri,” terang Dewa.
Secara fakta sejarah, menurut Dewa, berkaitan dengan penyelesaiannya itu, selama 2 tahun tidak melaporkan ke Kemenkumham. Tidak kemudian harus seperti yang dilakukan oleh akte no 1 Demak ini. Harus dimintakan ijin ke Kemenkumham untuk melakukan perubahan.
“Harusnya seperti itu. Jika dari Kemenkumham mengijinkan untuk dilakukan perubahan, maka para pembina ini segera melakukan rapat untuk melakukan perubahan,” kata Dewa.
Yang terjadi adalah, tergugat mengadakan rapat, seolah-olah itu rapat yang memenuhi kuorum, kemudian mendirikan organisasi baru tanpa ada ijin. Jelas pada ADRT, jika mau merubah nama, mengganti menjadi lembaga baru, harus ada ijin dari menteri.
“Tidak dilakukan sesuai prosedur.
Kami berharap, ini diserahkan kembali ke akta 35 nanti pembina di akta 35 ini melakukan rapat sesuai perintah UU, mengajukan ijin ke Kemenkumham, untuk melakukan perubahan AD, menetapkan, mengganti nama, atau apapun yang berkaitan dengan itu, baru perubahan,” pungkas Dewa. (Jon)