KORANJURI.COM – Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) Kabupaten Purworejo dengan tegas menolak wacana yang akan menjadikan guru sebagai pencicip atau tester Makanan Bergizi Gratis (MBG) sebelum didistribusikan kepada siswa.
Penolakan ini muncul karena kekhawatiran mendalam akan keselamatan guru dan indikasi lepas tanggung jawab dari pihak penyedia makanan.
Ketua PGRI Kabupaten Purworejo, Irianto Gunawan, menilai bahwa ide penunjukan guru sebagai tester MBG menunjukkan keengganan pihak yang terlibat untuk bertanggung jawab penuh atas kualitas makanan.
“Istilahnya aku menyajikan, silakan dicoba, kalau mati kamu. Yang selamat saya,” ujar Gunawan, Sabtu (04/10/2025).
Gunawan mempertanyakan siapa yang akan menanggung risiko jika guru keracunan, misalnya. Meskipun wacana ini menawarkan insentif sebesar Rp100 ribu per hari, ia menegaskan bahwa kompensasi tersebut tidak sepadan dengan risiko nyawa.
“Jika yang bersangkutan meninggal, misal pas mencicipi makanannya betul-betul keracunan, ada asuransinya tidak? Mestinya kan konsekuensinya begitu,” tegasnya.
Menurutnya, pihak penyedia dan Satuan Pelaksana Pengelola Gizi (SPPG) seharusnya berani bertanggung jawab dan memastikan makanan itu aman sebelum disajikan, tanpa harus mengorbankan orang lain.
“Mestinya penyedia itu juga harus bertanggung jawab, bahwa makanan ini aman. Jangan sampai mengorbankan orang lain. Mereka yang mendapatkan manfaat dari kegiatan ini, mengapa lepas tangan,” lanjutnya.
Selain risiko tester, PGRI juga menyoroti tugas tambahan guru dalam pengumpulan alat makan untuk disetorkan kembali ke SPPG. Jika terjadi kehilangan atau kekurangan, pihak sekolah yang harus menanggung kerugian.
Gunawan menekankan pentingnya pengawasan menyeluruh di setiap tahapan MBG, mulai dari dropping hingga kembali ke SPPG. Hal ini penting untuk mempermudah pelacakan sumber masalah, terutama mengingat adanya dugaan kasus keracunan MBG yang menimpa ratusan siswa di Purworejo.
“Contoh, di Purworejo belakangan terjadi dugaan keracunan MBG yang menimpa ratusan siswa. Belum tentu itu dari SPPG-nya. Kalau ada pengawasan kan mudah melacaknya,” kata Gunawan.
Ia pun meminta dugaan keracunan tersebut untuk diusut tuntas agar tidak merugikan SPPG jika memang sumber masalah bukan berasal dari mereka.
Meski mendukung program MBG, Gunawan menyarankan agar pengelolaannya diserahkan ke pihak sekolah (wali siswa) untuk menangani satu sekolah saja.
“Karena jumlahnya sedikit, saat disajikan masih fresh,” usulnya, seraya menekankan bahwa sistem ini juga harus tetap diawasi secara terstruktur. (Jon)