Program 5.400 Desa Wilayah 3T Teraliri Listrik Tuntaskan 100% Elektrifikasi Nasional

oleh
Diskusi Publik Kebijakan Energi di Denpasar, Kamis, 6 November 2025 - foto: Koranjuri.com

KORANJURI.COM – Secara nasional, elektrifikasi belum mencapai angka tuntas 100%, saat ini baru di angka 99%. Dengan wilayah Indonesia yang sedemikian luas, wilayah 3T menjadi daerah yang tidak semuanya dapat menikmati terang listrik.

Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Udayana I Gede Nandya Oktora mengatakan, pemerintah menargetkan 5.400 desa di wilayah tertinggal, terdepan dan terluar (3T) teraliri listrik.

“Listrik mendorong aktivitas ekonomi, bisnis lebih mudah dibangun. Masyarakat lebih produktif dan kegiatan sosial ekonomi akan berjalan lebih lancar,” kata Nandya saat Diskusi Publik Kebijakan Energi di Denpasar, Kamis, 6 November 2025.

Menurutnya, program penerangan wilayah 3T bukan sekadar proyek penerangan tapi bagian dari pembangunan ekonomi jangka panjang. Target 5.400 desa yang akan dialiri listrik menurutnya, sangat relevan untuk mencapai 100% penerangan secara nasional.

Ia menekankan pentingnya mendorong pemanfaatan energi terbarukan (EBT) sesuai potensi lokal. Seperti, tenaga surya, air, maupun angin agar listrik yang dihasilkan lebih ramah lingkungan.

“Potensi setiap daerah berbeda-beda, tapi pemerintah perlu mendorong sumber energi yang sesuai dengan kondisi lokal,” jelasnya.

“Kalau listrik dan jalan sudah tersedia, pertumbuhan ekonomi di wilayah tersebut pasti meningkat,” tambah Nandya.

Founder BTI Energy dan dosen Universitas Pendidikan Nasional I Gusti Ngurah Erlangga Bayu melihat, elektrifikasi desa menjadi langkah strategis untuk mengurangi ketimpangan energi nasional.

Proyek mikrohidro yang diresmikan Menteri ESDM Bahlil Lahadalia di Minahasa, Sulawesi Utara, jadi bagian dari program elektrifikasi 100%.

“Kalau dibilang 100 persen pasti mungkin. Indonesia kaya sumber daya matahari, air, angin yang belum dimanfaatkan maksimal. Negara-negara Eropa dengan sinar matahari terbatas saja bisa memanfaatkan tenaga surya, kita justru punya matahari 12 jam setiap hari,” ujar Erlangga.

Namun, listrik di daerah tidak bisa sepenuhnya tergantung dari EBT, seperti Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) karena sifatnya intermittent. Di sisi lain tetap diperlukan peran PLN sebagai backbone kebutuhan listrik di desa.

“PLTU atau diesel tetap diperlukan sebagai backup, misalnya ketika matahari tidak bersinar. Tapi porsinya bisa diperkecil, sementara EBT yang diperbanyak,” kata Erlangga.

Sementara, dosen Fakultas Ilmu Komunikasi dan Bisnis Universitas Dwijendra Ni Made Adi Novayanti menilai, keberhasilan program listrik desa juga bergantung pada transparansi dan komunikasi pemerintah kepada masyarakat.

Komunikasi publik yang konsisten akan menumbuhkan kepercayaan masyarakat terhadap agenda transisi energi nasional. Sehingga, tidak menimbulkan kebingungan di tingkat bawah.

“Penting bagi pemerintah dan pihak desa untuk terus menginformasikan bahwa kebijakan ini berjalan dan hasilnya nyata,” kata Novayanti. (Way)