KORANJURI.COM – Kepeduliannya terhadap kelestarian alam membuat pria yang kerap dipanggil Mbah Saman tak mengenal bangku pendidikan sekolah. Seluruh hidupnya diabdikan untuk melestarikan hutan yang berada di Gunung Lawu. Ia hanya memahami jika alam yang ada di sekitarnya adalah anugerah, bukti kebesaran Tuhan Yang Maha Esa. Alam adalah perwujudan bapa angkasa ibu bumi, yang melahirkan peradaban di atas bumi.
Kelestarian alam adalah tanggung jawab umat manusia sebagai mahkluk sempurna ciptaan Tuhan. Alam tak memandang siapa dia. Alam hanya mengenal hukum sebab dan akibat. Siapa merusak bencana datang, siapa menanam akan memetik, siapa menabur akan menuai.
Lahir 70 tahun yang silam di Desa Blumbang, Saman menjadi sosok pria sederhana yang tak pernah memikirkan dirinya sendiri. Sejak kecil dia gemar naik turun gunung, keluar masuk hutan belantara menanam pohon di sepanjang lereng Gunung Lawu. Ribuan pohon Pinus seakan menjadi rumah besarnya yang harus ia jaga dan rawat kelestarianya
Baca Juga: » Sedekah Lawu MDH Pringgondani
Di usianya sekarang, lebih dari dua ratus juta bibit pohon rimba dan buah ditanam Saman di hutan Lawu pasca kebakaran besar melanda di 2002 silam. Api melahap hutan sepanjang lebih dari 6 ribu. Hal itu membuat nuraninya terusik.
Rumah alamnya rusak akibat ulah oknum yang menutupi pencurian kayu selama bertahun tahun dengan cara membakar hutan dan menghilangkan jejak perambahan.
“Kedadosan kobongan amargi diobong tiyang ingkang meboten nduwe tanggung jawab, supados jejakipun nyolong mboten ketingal (Peristiwa kebakaran karena ada dugaan dibakar orang tak bertanggungjawab. Supaya jejaknya mencuri hutan tidak ketahuan),” terang mbah Saman dalam bahasa Jawa.
Dia menegaskan, hampir seluruh kebakaran yang terjadi di Gunung Lawu dipicu ulah manusia yang sengaja membakarnya. Kewajibannya menafkahi anak istri ia tinggalkan dengan tujuan untuk menyelamatkan hutan yang rusak.
Areal bekas hutan yang terbakar dibersihkan. Setiap hari dia harus berjalan selama lima jam dari rumah ke areal hutan lawu yang terbakar untuk mengolah dan menyiapkan lahan agar bisa ditanami kembali. Ribuan bibit pohon rimba dan buah ditancapkan, diantaranya Liwung, Wartel, Cemara, Akasia, Damar, Maglit, Mindi, Mahoni, Durian, Manggis maupun Alpukat.
Ia berharap, hasil tanaman itu bukan hanya bermanfaat bagi alam dan penduduk desa semata, namun juga dapat menghidupi ekosistem fauna hutan. Pengalamannya semasa muda saat merantau ke Lampung menjadi petani kopi diterapkan dengan menanam bibit kopi di sela-sela pohon rimba.
“Selama setahun sampun angsal 8 hektar langkung (Selama setahun sudah lebih dari dapat 8 hektar),” jelasnya.
Tahun demi tahun akhirnya ratusan hektar lahan yang rusak berhasil dikonservasi.
Pekerjaan itu dilakukan sendiri oleh Mbah Saman, baik pengadaan bibit maupun proses penanamannya. Beberapa warga yang peduli terhadap mbah Saman akhirnya turut bergabung menghutankan kembali lereng Gunung Lawu yang menjadi tempat tinggal warga.
Tahun 2003 hingga 2004 bersama 60 orang warga sekampung, mbah Saman berhasil menanami lahan rusak akibat terbakar seluas 800 hektar.
Tahun 2004, bersama warga desa lainnya Mbah Saman membentuk paguyuban LMDH Estu Pringgondani. Dari komunitas itu, Mbah Saman mengenal dan menjalin silaturahmi dengan para rimbawan lainnya di tiga belas Gunung se Jawa-Madura. Sekaligus, belajar tentang program konservasi hutan.
Jiwa rimbawan yang dimiliki Mbah Saman tak pernah berharap mendapatkan penghargaan dari Pemerintah, baik daerah maupun pemerintah pusat. Selama melestarikan ribuan hektar lahan hutan yang rusak di Gunung Lawu, Mbah Saman sama sekali belum pernah memperoleh bantuan bibit dari Pemerintah, apalagi penghargaan pelestari lingkungan.
Dirasakan, selama ini Pemerintah kurang peduli terhadap berlangsungnya kelestarian alam. Apalagi kepada para rimbawan pelestari lingkungan seperti mbah Saman. Orang seperti mbah Saman justru dianggap sebagai penghalang bagi segelintir oknum dinas kehutanan pembalak liar.
Mbah Saman menyampaikan, dirinya kerap difitnah bahkan dibenturkan dengan penduduk desa sebagai perambah hutan oleh oknum dari dinas kehutanan yang tak ingin terganggu. Sudah bukan menjadi rahasia umum lagi, banyak oknum dinas kehutanan bermain dan membekingi warga merambah hutan.
“Untuk menghilangkan jejak perambahan, mereka membakarnya,” ulangnya.
Selama puluhan tahun menjaga kelestarian hutan Lawu, Mbah Saman harus merelakan kakinya remuk, kedua jari tangannya hilang karena menyelamatkan hutan.
Kepedulian Mbah Saman tidak hanya mengembalikan ekosistem hutan Lawu yang rusak, tapi juga menggelar upacara adat tradisi sedekah bumi sebagai wujud ungkapan terima kasih kepada Tuhan Yang Maha Esa. Atas karunia dan rahmat-Nya yang selama ini dia terima.
Baginya, hutan Lawu tidak hanya memberikan manfaat hasil pertanian, tetapi juga menjadi sumber kehidupan warga dari daerah lain seperti, Sukoharjo, Wonogiri, Magetan, Ngawi, Ponorogo, Madiun dan Sragen. Lawu juga menjadi tempat tumbuhnya ekosistem flora fauna endemik dan sentra spiritual kebudayaan Jawa.
Gunung Lawu berada di ketinggian 3.256 Mdpl, berada diantara tapal batas dua Provinsi yakni, Jawa Tengah dan Jawa Timur. Puncak Gunung Lawu ada 3 yakni, Hargo Dalem, Hargo Dumilah, Hargo Dumiling yang biasa diziarahi penghayat kepercayaan mauoun pelaku spiritual kebudayaan Jawa.
Gunung Lawu dikenal sebagai gunung tidur, letusan terakhir terjadi pada tanggal 28 November 1885. Sebagian besar kondisi hutan di gunung Lawu saat ini mengalami kerusakan sangat parah akibat pembalakan liar dan kebakaran (Jk)