KORANJURI.COM – 23 tahun tragedi bom Bali yang meluluhlantakkan kawasan Legian, Bali, masih menyisakan duka mendalam untuk para penyintas dan keluarga korban. Setiap tahun, ground zero atau Monumen Bom Bali, menjadi titik pengingat dan refleksi bagi keluarga korban dan para survivors.
Tumini (50), sebagai salah seorang penyintas mengaku masih merasakan kekecewaan tatkala menghadapi realita pasca 23 tahun berlalunya peristiwa kelam pada 12 Oktober 2002 lalu.
“Korban kan tidak hanya pada saat kejadian, tapi setidaknya pemerintah melihat kondisi para penyintas dalam melanjutkan kehidupannya. Kita selama ini seperti tidak dihiraukan,” kata Tumini saat menghadiri peringatan 23 tahun tragedi Bom Bali, Minggu, 12 Oktober 2025.
Sejumlah santunan masih ia terima berupa uang cash sebesar Rp200 ribu dari pemerintah dan pengobatan yang diberikan oleh LPSK. Termasuk uang makan yang diberikan setiap tiga bulan sekali serta uang transportasi.
Namun, bagi Tumini, dirinya membutuhkan kemandirian yang diharapkan dapat dibantu oleh pemerintah melalui modal usaha. Sebagai orangtua tunggal, kendala yang dihadapi saat ini adalah membesarkan dan menyekolahkan dua orang anaknya.
“Harapan saya dengan pemerintah itu, bukan saya mau untuk dibantu tidak. Tapi kasihlah modal usaha atau lowongan pekerjaan, jadi kita sebagai penyintas itu merasa dinaungi,” ujarnya.
“Selama ini saya mondar-mandir saja, istilahnya mekuli, yang penting bisa buat menyekolahkan anak, yang satu di SMK, satunya kelas 5 SD. Walaupun mekuli saya tetap bangga,” tambah Tumini.
Tumini mengungkap, saat berlangsung peristiwa mencekam itu, dirinya tengah bekerja di Paddy’s Pub, salah satu restoran yang luluh lantak oleh ledakan bom. Dalam kondisi tubuh terbakar dia tetap bertahan dengan melompat dari lantai dua tempatnya bekerja dan menyelamatkan diri.
Dia menceritakan, rasa sakit akibat luka bakar 45% dan ada organ tubuhnya yang terburai bahkan tidak sempat dirasakannya. Tumini mengambil keputusan spontan untuk menyelamatkan diri secepat mungkin.
“Sudah tidak ada lagi pemikiran, mati atau hidup. Saat peristiwa itu saya berumur 27 tahun,” ujarnya.
Saat hadir dalam peringatan Bom Bali di Ground Zero, Tumini mengaku sempat teringat peristiwa 23 tahun silam. Dirinya tidak menyangka sanggup bertahan sampai sekarang.
“Waktu kejadian saya lagi ngobrol sama teman, tiba-tiba kipas angin segala perabotan terlempar dan kami pikir itu gempa. Waktu loncat dari lantai dua itu saya tidak sadar pakaian yang saya kenakan sudah hilang tinggal pakaian dalam saja, sepatu hilang, ” kisahnya.
“Makanya tadi saya sempat duduk bengong di sana, kok bisa saya loncat dari lantai dua, di tangan ini masih ada api. Setelah 23 tahun baru sadar tadi.”
Bahkan, setelah 23 tahun berlalu, Tumini masih harus menjalani operasi pemotongan usus karena infeksi. (Way)
