KORANJURI.COM – Kepala Balai Pelestarian Kebudayaan Wilayah VIII Lita Rahmiati menekankan, teknologi AI tidak dapat menggantikan peran manusia dalam merawat kebudayaan.
Ia mengatakan, banyak manuskrip kuno yang memerlukan perawatan dengan sentuhan tangan manusia. Ia mengungkapkan, naskah-naskah kuno itu secara sederhana butuh perawatan sederhana.
“Seperti menjaga dari debu, memberikan kapur barus atau dikasih cengkeh, biji kopi agar tetap terjaga tidak rusak dan untuk menghilangkan bau,” kata Lita dalam seminar di Gedung Pasca Sarjana, Universitas Udayana, Jumat, 5 September 2025.
Teknologi, menurutnya, berkontribusi terhadap pendokumentasian serta memberikan kemudahan akses untuk mengetahui sebuah eksistensi kebudayaan.
Lita mengatakan, tahun lalu, Balai Pelestarian Kebudayaan Wilayah III menemukan lebih dari 1.000 manuskrip dari tiga desa.
“Kita bisa bayangkan berapa banyak kekayaan manuskrip di Indonesia, dan kebanyakan itu dimiliki secara individual atau tokoh-tokoh agama atau tokoh adat yang memegangnya,” ujarnya.
“Dari seribuan manuskrip itu setiap buku berisi 20-40 halaman,” tambah Lita.
Dalam seminar kebudayaan itu, hadir pembicara di antaranya, Wakil Menteri Kebudayaan Giring Ganesha Djumaryo.
Lokakarya Pembuatan Keris
Sebelumnya, para peserta dari 40 negara dikenalkan cara membatik oleh perajin Batik Laweyan, Solo. Selain itu, lokakarya pembuatan keris.
Lokakarya ini mengajak pengunjung menyaksikan langsung proses penempaan keris. Sekaligus, mengenal makna spiritual di
balik setiap guratan logamnya. Proses pembuatan keris ternyata tidak sederhana.
Logam campuran seperti besi, baja, dan nikel
dipanaskan hingga pijar lalu ditempa berulang-ulang. Hasilnya adalah bilah dengan guratan indah yang disebut pamor.
Staf Khusus Menteri Bidang Sejarah dan Pelindungan Warisan Budaya Basuki Teguh Yuwono mengatakan, untuk menghasilkan satu bilah keris Bali yang beratnya sekitar 75 gram, dibutuhkan 5–20 kilogram logam.
“Bahan yang luruh banyak sekali, jadi hanya sari-sari logam yang benar-benar kuat dan padat yang tersisa,” kata Teguh.
Suhu penempaan keris bisa mencapai 1.200–1.500 derajat Celsius. Para empu era dulu, dalam membuat keris justru bekerja dengan pakaian sederhana karena percikan api lebih aman terkena kulit daripada kain yang bisa terbakar.
Bagi masyarakat Bali, keris juga punya tempat istimewa. Keris dianggap pusaka leluhur, disimpan di pura, dan digunakan dalam berbagai upacara keagamaan.
Seni membuat keris tidak bisa dilepaskan dari ritual Hindu di Bali. Membuat keris butuh konsentrasi, kesadaran, dan rasa yang dalam bukan sekadar keterampilan teknis.
“Tapi Keris sering dilihat hanya dari sisi mistis. Padahal, dalam sebilah keris ada pengetahuan metalurgi yang sudah dikuasai nenek moyang sejak abad ke-8. Teknologi logam, seni, hingga filosofi hidup melebur jadi satu,” jelas Teguh.
“Tak heran kalau keris kini diakui UNESCO sebagai Warisan Budaya Takbenda Dunia,” tambahnya. (Way)





