Warga Pemilik Usaha di Pantai Bingin Siapkan Gugatan ke Pemerintah

oleh
Sejumlah warga dan karyawan dari pemilik usaha di Pantai Bingin merespons eksekusi bangunan dengan membentangkan spanduk penolakan, Senin, 21 Juli 2025 - foto: Ist.

KORANJURI.COM – Warga Pantai Bingin menolak pembongkaran bangunan yang dianggap ilegal oleh pemerintah. Ada 48 bangunan di Pantai Bingin, Desa Pecatu, Kabupaten yang dieksekusi, Senin, 21 Juli 2025.

Bangunan yang pertama dieksekusi adalah Morabito Villa and Restaurant. Sejumlah karyawan melakukan penolakan. Mereka berteriak histeris dan menangis.

Protes yang diserukan terpampang dalam bentangan spanduk bertuliskan, ‘Kami Mau Diatur tapi Menolak Dibongkar”.  

Spanduk lain tertulis, ‘Menolak eksekusi Sepihak dari Pemerintah Kabupaten Badung Tanpa Adanya Putusan yang Berkekuatan Hukum Tetap dari PTUN Nomor Perkara 18’.

Media visual yang berisi tuntutan itu dibentangkan menyambut kedatangan Gubernur Bali Wayan Koster dan Bupati Kabupaten Badung I Wayan Adi Arnawa.

Namun, keduanya langsung berjalan turun ke lokasi tebing pantai. Meskipun ada penolakan kuat dari warga, pemerintah tetap bergeming. 

Proses eksekusi dimulai dengan pembacaan surat pemberitahuan pembongkaran Bupati Badung. Kemudian, Gubernur Bali secara simbolis melakukan pemukulan palu di depan pintu masuk restoran Morabito.

Petugas Satpol PP dan sejumlah tukang bangunan masuk untuk membongkar bar dan sejumlah dinding bangunan. Puluhan karyawan restoran tersebut berteriak histeris, menangis dan menolak pembongkaran. 

Mereka meminta keadilan di pantai Bingin seperti lokasi wisata lain di Bali.

Koordinator Persatuan Pedagang Pantai Bingin I Nyoman Musadi, menyatakan penolakan pembongkaran yang dilakukan sepihak oleh pemerintah. 

Menurutnya, hal ini merupakan pukulan bagi pariwisata Bali di Pantai Bingin, Pecatu. Sejak awal, kata dia, warga pantai Bingin telah berkoordinasi dengan Pemkab Badung. Namun tak ada jawaban pasti dari pemerintah. 

“Surat permohonan DTW Pantai Bingin sudah kami ajukan, namun dari pemerintah tak ada jawaban. Pedagang juga sudah audiensi ke Bupati di rumahnya, karena Pak Bupati itu orang Pecatu,” kata Nyoman Musadi.

“Kita tak diberikan kesempatan, langsung diberikan SP 1, SP  2 sampai terjadi pembongkaran hari ini,” tambahnya.

Musadi menengarai, pasca eksekusi akan ada bangunan vila mewah di Pantai Bingin.

“Kami takutkan, beberapa tahun setelah ini tiba-tiba ada vila megah, harapan kita ini tidak terjadi di pantai Bingin, kalau ada kita siap kerahkan masyarakat yang lebih banyak demo damai seperti ini,” tegasnya.

Warga Pantai Bingin Made Suarja menjelaskan, pedagang dan warga butuh keadilan. Karena rata-rata bangunan tersebut sudah berdiri 20 tahun. 

“Kami sudah menempati sekitar 30 sampai 40 tahun. Karena para orang tua kami nelayan dan berkebun pandan di sana untuk pembuatan tikar,” kata Made Suarja. 

Jika menerapkan UU No 1 tahun 2014 tentang pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, kata Suarja, maka pesisir pantai bisa dimohon oleh masyarakat setempat melalui hukum adat. 

Hal itu yang semestinya sudah dilaksanakan namun sampai hari ini belum terealisasi oleh pemerintah. 

“Kami terus mencari keadilan karena kenapa di tempat lain bisa tapi kami di pantai Bingin kok tidak bisa,” ujarnya. 

Pembongkaran usaha akomodasi pariwisata itu, kata Suarja, berdampak pada nasib ratusan karyawan. Mereka kehilangan pekerjaan.

“Kurang lebih ada 300 karyawan” katanya. 

Warga bersikukuh menempuh jalur hukum dan gugatan class action sudah terdaftar di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).

“Besok mulai pemeriksaan berkas di pengadilan nanti akan berlanjut terus,” jelas Made Suarja. (*/Way)