KORANJURI.COM – Desa Adat Penglipuran sebagai desa terbersih versi UNESCO kembali mendapatkan penghargaan tertinggi nasional oleh Presiden melalui Menteri Lingkungan Hidup. Desa Penglipuran didapuk dengan penghargaan Kalpataru Lestari 2025.
Penghargaan itu diterima pada puncak peringatan Hari Lingkungan Hidup Sedunia di Pantai Kuta, Bali, pada Kamis (5/6/2025).
Desa Penglipuran menerima Kalpataru pertama kali pada tahun 1995 dalam kategori Penyelamat Lingkungan. Tiga dekade kemudian, konsistensi desa dalam pelestarian lingkungan kembali diakui.
Komitmen tersebut tercermin dalam berbagai program berbasis adat yang memadukan pelestarian alam dengan harmoni sosial, spiritual, dan budaya. Desa di Kabupaten Bangli ini, menjadi representasi filosofi Tri Hita Karana. Konsep keseimbangan antara manusia, lingkungan, dan Tuhan.
Kepala pengelola Desa Tujuan Wisata Penglipuran I Wayan Sumiarsa mengatakan, pelestarian lingkungan di Penglipuran bukan hasil intervensi eksternal, melainkan bagian dari sistem adat yang telah mengakar kuat.
Salah satu inisiatif utama adalah konservasi hutan bambu seluas 75 hektare, yang dijaga ketat melalui aturan adat. Kawasan ini dianggap sakral dan pemanfaatannya dibatasi secara kolektif.
“Selain nilai spiritual, hutan ini berperan penting dalam menjaga kualitas tanah, cadangan air, dan penyerapan karbon,” kata Sumiarsa.
Ekologi desa juga menerapkan sistem pengelolaan sampah berbasis rumah tangga yang disiplin. Warga secara rutin memilah sampah ke dalam 14 kategori, mulai dari organik hingga limbah berbahaya.
Seluruh proses dilakukan di pusat pengelolaan milik desa. Keberhasilan sistem ini tidak lepas dari peran hukum adat atau awig-awig dan sanksi sosial yang memastikan partisipasi aktif seluruh warga.
Awig-awig juga melarang keras segala aktivitas perusakan lingkungan seperti penebangan pohon liar, pencemaran sungai dan perburuan satwa. Pelanggaran terhadap hukum adat ini tidak hanya dikenai sanksi formal, tapi juga sosial dan spiritual.
Bergerak Menjadi Laboratorium Hidup
Desa Penglipuran menegaskan diri sebagai pusat edukasi lingkungan berbasis budaya inklusif. Dengan kekayaan kearifan lokal yang telah terbukti efektif, desa ini bergerak menjadi ruang belajar terbuka bagi pelajar, peneliti, hingga pembuat kebijakan.
Model keseharian warga seperti pengelolaan sampah dan pelestarian hutan bambu akan dijadikan laboratorium hidup untuk pendidikan lingkungan.
Visi jangka panjangnya adalah mereplikasi model desa berkelanjutan yang kontekstual dan bisa diterapkan di berbagai wilayah Indonesia. (Way)
