Si Gombrong Kintamani dari Desa Sukawana

oleh
Dari Desa Sukawani, Kintamani, Bangli, anjing lokal pegunungan yang popular dengan anjing Kintamani ini berkembangbiak, kemudian menyebar dan akhirnya menjadi anjing ras pertama di Indonesia yang diakui dunia - foto: Wahyu Siswadi/Koranjuri.com

KORANJURI.COM – Di sekitar Gunung Batur atau di daerah wisata Kintamani terdapat Desa Sukawana. Dari situlah anjing lokal pegunungan yang popular dengan anjing Kintamani ini berkembangbiak, kemudian menyebar dan akhirnya menjadi anjing ras pertama di Indonesia yang diakui dunia.

Desa Sukawana terletak 70 kilometer dari Denpasar atau 35 kilometer dari Istana Tampaksiring. Kintamani dianggap sebagai penghasil anjing yang cukup fenomenal. Namun hanya di desa Sukawana saja habitat asli anjing Kintamani ini masih eksis sampai sekarang. Bahkan, dimuliabiakkan secara berkelompok oleh warga sejak tahun 2000 lalu.

Warga lokal menyebutnya dengan anjing gombrong karena bulunya lebat atau disebut dengan bulu krah berbentuk kipas di daerah bahu. Ekor bulunya bersurai, posisinya tegak dan sedikit melengkung tetapi tidak jatuh atau melingkar di atas pinggang dan jatuh ke samping. Itulah sedikit gambaran tentang anjing yang sekarang disebut anjing Kintamani. Secara umum, posturnya seperti serigala.

I Wayan Nawa, warga setempat mengatakan, anjing Kintamani asli memiliki ciri-ciri spesifik yang membedakannya dengan anjing ras lain, yakni, jika sudah dewasa posisi telinga berdiri dan bulu di belakang leher lebih lebat dibandingkan bulu lainnya.

“Kaki agak panjang, kuat dan lurus jika dilihat dari depan atau belakang. Makin panjang bulu ekor makin bagus bentuknya. Meski habitatnya di daerah dingin seperti disini, tapi anjing gombrong mudah beradaptasi dengan lingkungan sekitar, bahkan di daerah panas sekalipun,” terang Wayan Nawa.

Menurutnya, saat ini, perkembangbiakkan anjing Kintamani di dusunnya ada dua jenis yakni, secara alamiah dan diternakkan oleh warga. Dikatakan lagi, perkembangbiakkan alami berlaku untuk anjing-anjing yang dipiara secara pribadi di rumah-rumah, kemudian terjadi perkawinan dengan anjing lainnya dan menghasilkan anak. Sedangkan, yang dalam penangkaran, berarti warga secara sengaja memuliabiakkan dalam satu kandang khusus.

“Disini ada beberapa kelompok pemuliabiak anjing Kintamani. Tapi diluar itu, hampir semua warga juga memelihara untuk menjaga rumah. Paling tidak satu keluarga piara dua ekor,” terang Nawa.

Warga desa Sukawana yang kebanyakan berprofesi sebagai peladang, memanfaatkan kemampuan anjing gombrong ketika sedang melakukan aktifitasnya di ladang. Seperti terlihat disana, antara pemukiman penduduk dengan ladang garapan jaraknya cukup jauh. Ditambah lagi, geografis perbukitan terjal dan sedikit gersang, membuat warga memilih tinggal sementara waktu di ladang sampai menjelang matahari tenggelam, kemudian baru pulang ke rumah.

“Begitulah aktifitas keseharian warga disini. Jadi selama ditinggal pergi majikannya, rumah dijaga oleh beberapa ekor anjing,” terangnya.

Begitu pula sebaliknya, jika ladang jeruk ditinggal pergi majikannya, yang berperan menjaga tanaman dari incaran pencuri adalah anjing-anjing berbulu lebat tersebut.

Reproduksi 2 Kali Setahun

KORANJURI.com di Google News