KORANJURI.COM – Slogan yang dilontarkan seniman asal Ubud, Bali, ini memang menarik. Dari sampah jadi kura-kura, dari kura-kura jadi uang. Mau? Dari tangan kreatifnya, I Nyoman Subandi menyulap tumpukan sampah kertas menjadi bentuk kerajinan yang bisa dijual dengan harga tinggi dan disuka para turis mancanegara. Seperti apakah?
Karena ketekunannya mencari dan mengolah sampah kertas, ia lantas dijuluki Seniman Sampah. Tapi justru dari situ, Subandi sangat dikenal sebagai satu-satunya seniman asal Ubud yang membuat karyanya dari tumpukan sampah kertas. Karya yang dihasilkannya berupa pernik-pernik seperti asbak, toppless untuk menaruh permen, celengan, tempat koin sampai ember tempat pakaian kotor yang punya nilai seni tersendiri serta ramah lingkungan.
“Kebanyakan hiasan atau pemanis ruangan yang bisa diletakkan di atas meja. Saya tertarik mendaurulang sampah karena terdorong untuk memanfaatkan limbah yang sebenarnya bisa diproses ulang untuk dijual dan akhirnya menghasilkan uang,” jelas Subandi di bengkel kerjanya di Jalan Monkey Forest, Ubud.
Setelah menjadi sebuah kerajinan yang cukup unik, Subandi memajangnya di galeri miliknya dengan harga per item Rp 250 ribu. Beberapa diantaranya diberikan bandrol harga hingga Rp 1,5 juta.
“Kalau itu untuk ukuran besar seperti ember tempat pakaian kotor atau patung-patung yang semuanya juga terbuat dari sampah kertas,” jelas seniman pemilik galeri Pondok Frog ini.
Proses pembuatannya sendiri cukup sederhana dan tidak butuh modal besar. Karena bahan bakunya sangat mudah didapat. Modal yang dibutuhkan cuma lem saja. Dalam proses pengerjaannya, tumpukan sampah kertas direndam dalam sebuah ember besar selama sekitar dua minggu hingga satu bulan. Semakin lama merendam kertas, kualitas yang dihasilkan akan semakin bagus.
Setelah proses perendaman, tumpukan kertas basah tadi dimasukkan dalam lesung untuk ditumbuk hingga menjadi serbuk kertas yang kondisinya masih setengah basah. Serbuk kertas itu kemudian dicampur dengan lem kayu agar bisa rekat untuk dibentuk menjadi sebuah kerajinan.
“Saat ini yang paling banyak saya produksi tema-tema yang berkenaan dengan binatang. Tapi kebanyakan binatang gajah. Sebelum ini, saya banyak membuat kerajinan kura-kura. Dan kerajinan itu sampai sekarang ludes terjual sampai nggak ada sisanya lagi. Kalau sekarang saya lagi sreg bikin kerajinan dengan ornamen gajah,” jelas alumni ABA Yogyakarta ini.
Kerajinan sampah kertas made in Subandi ini dipadukan dengan batok kelapa yang fungsinya sebagai wadah. Sementara, hiasan gajah berada di sekeliling tempurung kelapa. Bentuknya sangat unik seperti, gajah yang sedang sedih, gajah sedang tidur terlentang sampai yang nyleneh seperti bentuk orang lagi berjongkok di toilet dengan sebatang rokok.
Uniknya lagi, kerajinan tersebut dibentuk dengan tangan atau tidak dengan menggunakan mesin. Dari situlah mengapa hasil karyanya banyak disuka turis mancanegara seperti, Australia, Jepang dan China.
“Yang namanya serbuk kertas kalau sudah dicampur dengan lem hasilnya memang luar biasa. Meski terbuat dari kertas, kalau sudah jadi kerasnya nggak ngalahin kayu. Malah terkadang, batok kelapanya yang kalah kalau jatuh. dan dicuci pun juga nggak masalah, nggak rusak,” jelasnya.
Buatan Tangan
Ide pembuatan kerajinan dari sampah kertas itu bermula ketika Subandi masih menjadi mahasiswa di Yogyakarta. Selain belajar, kebutuhan mahasiswa tidak jauh dari koran atau majalah. Karena seringnya membaca media cetak, kertas koran pun menumpuk. Sampai akhirnya ia mencoba meracik kertas tak terpakai itu menjadi sebuah patung.
“Prosesnya sama. Cuma waktu di Jogja saya tidak menumbuk kertas dengan alu, tapi kertas saya masukkan blender supaya hancur. Agak berbeda memang, proses blender dengan ditumbuk. Lebih bagus yang ditumbuk. Karena kertas betul-betul hancur. Setelah jadi kerajinan saya berikan ke teman,” kenangnya saat meniti karir sebagai ‘Seniman Sampah’ pada tahun 1998 lalu.
Demikian pula setelah menekuni seni daurulang ini, Subandi mempromosikan karyanya dengan membagi-bagikan kepada sahabat dan kenalan. Dari situ, ia menjadi dikenal. Apalagi, Ubud merupakan kawasan wisata internasional. Sehingga, banyak tamu mancanegara tertarik dan berminat mengkoleksi karya seni ramah lingkungan itu.
Uniknya lagi, setiap kerajinan tangan dari si ‘seniman sampah’ ini diberi judul yang juga cukup unik serta mengundang tawa. Seperti misalnya, ‘Nikmatnya di Toilet’ yang menggambarkan seorang yang sedang berjongkok diatas jamban dengan sebatang rokok. Ada juga patung kertas yang berjudul ‘Lelaki Penjaja Cinta (Mr. Jaglo)’ yang menggambarkan pemuda yang mendapatkan kesenangan dan kekayaan dengan cara singkat dengan memacari cewek-cewek bule.
Sementara, patung kertas berjudul ‘Mr. Lady ‘ bercerita tentang fenomena transgender alias laki-laki yang menjadi perempuan. Serta ‘Bom Bali I’ cerminan dari terpuruknya PHK besar-besaran pasca kejadian bom Bali yang sempat menghebohkan dunia itu.
“Untuk patung-patung kertas itu saya banyak terinspirasi dari kejadian-kejadian yang ada di sekitar kita. Bahkan untuk kerajinan yang bisa dijadikan koleksi pun saya juga punya cerita. Lalu, mengapa kerajinan saya selalu menggambarkan anak gajah?” tanyanya demikian.
Ia memberikan alasan, anak gajah membuatnya memikirkan makhluk hidup yang berada di ambang kepunahan. Disamping itu, menurutnya gajah merupakan makhluk terbesar yang masih tersisa di muka bumi ini. Kalau gajah nantinya memang benar-benar punah, setidaknya ada gambaran yang masih bisa dilihat dari hasil karyanya berupa patung dari sampah kertas itu.
Dalam menghasilkan karya kerajinan tangan, Subandi tidak harus mentarget jumlah produksinya. Meski ia sendiri mengakui, kerajinan dari mendaurulang sampah kertas itu bisa saja dijiplak oleh orang lain kemudian diproduksi secara besar-besaran. Ia tidak khawatir tentang hal itu. Justru, Subandi memberikan kesempatan kepada semua orang yang berminat dengan ketrampilannya. Ia juga tak segan membagi ilmu dengan membantu belajar kepada semua orang bagaimana cara mendaurulang sampah kertas menjadi bentuk kerajinan yang punya harga.
“Ibaratnya, sampah itu ada dimana-mana, di seluruh dunia. Saya tidak mungkin bisa membersihkan sampah seorang diri. Karena itu, saya justru mengajak mereka yang berminat dengan seni kerajinan ini untuk memanfaatkan sampah. Tujuan utama saya adalah membersihkan lingkungan kita dari sampah-sampah yang mengganggu kelestarian alam kita ini,” ujar seniman yang sering mengajarkan ketrampilannya kepada siswa-siswi sekolah di seluruh Indonesia ini.
Hargai Lingkungan
Saking pedulinya dengan lingkungan, ia memaksakan untuk tidak menggunakan bahan pengawet dan zat kimia ketika memproduksi kerajinan itu. Bahkan, menggunakan mesin pun tidak dilakukannya. Alhasil, karya kerajinan yang dihasilkan menjadi sangat terbatas. Meski kesempatan untuk menangguk rupiah dari tumpukan kertas sampah, masih cukup terbuka lebar. Subandi cuma mampu menghasilkan lima cenderamata saja per hari. Malahan, untuk satu kerajinan yang ukurannya cukup besar dikerjakan hingga tiga bulan lamanya.
“Repotnya kalau ada pesanan banyak dan mendadak. Sementara, disini saya bekerja sendirian, tidak mengambil orang untuk membantu saya. Kalau pas situasi begitu, terpaksa saya harus lembur agar targetnya tercapai,” jelas Subandi.
Beberapa penawaran untuk mengekspor kerajinan daurulang sampah kertas itu seringkali mampir kepada dirinya. Tapi itu ditolaknya. Alasannya, ia tak mau terbelenggu oleh rutinitas kerja dengan melakukan pekerjaan bertema sejenis dalam jumlah besar dan harus siap stok.
“Salah satunya dari Perancis pernah menawarkan kepada saya untuk ekspor, tapi sementara saya tolak dulu lah. Lebih baik bekerja seperti ini. Membagi ketrampilan dan ilmu saya kepada yang lain,” ujarnya enteng.
Meski begitu, keberuntungan tak pernah jauh dari dirinya. Niat tulus membantu orang lain memanfaatkan limbah tak terpakai, terbayar dengan banyaknya orderan yang masuk ke galerinya. Dalam catatannya, kerajinan patung sampah itu bisa terjual sekitar sepuluh sampai lima belas item per hari. Dan uangnya kalau dihitung juga cukup besar.
Dengan bandrol harga paling murah Rp 200 ribu, setidaknya limbah itu dihargai dengan nilai yang sangat fantastis, sekitar Rp 2 juta sampai Rp 2,5 juta per hari. Sedangkan biaya produksinya cukup murah. Yang lebih banyak dibutuhkan hanya kreatifitas bagaimana caranya membentuk sebuah kerajinan yang mewah dengan biaya produksi rendah.
Hingga sekarang, Subandi tetap getol mengajak masyarakat untuk menghargai sampah dengan tidak membuang atau membakar secara sambarangan. Bahkan ia sudah memposisikan dirinya sebagai seniman yang tidak akan menggunakan media kayu untuk menuangkan hasil karya seninya.
Hal itu bukannya tanpa alasan. Ia melihat, potongan kayu sebagai benda yang awalnya hidup menjadi pohon kemudian ditebang.
“Kasihan saja kalau melihat ada pohon ditebang. Keluarga saya memang semuanya pematung dari bahan kayu. Tapi, saya mencoba cara lain dengan tidak menggunakan kayu sebagai media seni saya,” ujarnya.
Wahyu Siswadi