KORANJURI.COM – Berlarutnya penyelesaian sengketa lahan di Taman Sriwedari Solo memicu keresahan pedagang yang mengais rejeki di tempat itu. Pembina Forum Komunitas Sriwedari (Foksri), Kusuma Putra mengatakan, sengketa sudah berlangsung selama 90 tahun.
“Ada 5.000 jiwa yang mencari rejeki di Taman Sriwedari, mereka cemas karena sampai sekarang tidak ada kejelasan nasib mereka,” jelas Kusuma Putra.
BACA:
» Masyarakat Peduli Heritage Harapkan Penyelesaian Sriwedari Kedepankan Musyawarah
» Kusuma: Pedagang Sriwedari Berharap Kejelasan Nasib Mereka
Kusuma justru menduga ada pihak yang bermain dalam sengketa lahan Taman Sriwedari. Karena dari 3,4 Hektar lahan yang digugat ahli waris, pengadilan memenangkan 13 hektar. Yang disayangkan Kusuma, Sriwedari merupakan ruang publik terbesar yang ada di Kota Solo setelah Taman Satwa Taru Jurug yang memiliki lahan seluas kurang lebih 9 hektar.
Selain itu menurutnya, Taman kota yang dulu disebut dengan Kebon Rojo atau kebun raja ini memiliki sejarah yang terkait dengan berdirinya Kota Solo. Undang Undang Cagar Budaya dianggapnya terlambat karena muncul tahun 2010. Padahal, sebelum 2010, banyak sengketa pemanfaatan lahan Heritage antara Pemkot Solo dengan pihak pemilik lahan yang akhirnya menimbulkan polemik.
“Jika Pemkot Solo kalah dalam PK, harus ada solusi akhir dengan cara membeli lahan sengketa, agar Sriwedari tetap menjadi milik masyarakat Kota Solo,” ujar Kusuma.
Kusuma mengaku mengetahui, sejak dua hingga tiga bulan lalu surat pengosongan Sriwedari sudah dilayangkan ke Pemkot Solo. Tapi sampai sekarang belum ditindaklanjuti. Menurut Kusuma, Pemkot masih menunggu keputusan PK.
FOKSRI mewadahi 15 paguyuban pedagang Sriwedari dari 5.000 jiwa yang mengais rejeki di Taman Bon Rojo. Diantaranya paguyuban pedagang buku bekas, paguyuban pengetikan, paguyuban pigura, paguyuban seniman lukis dan paguyuban lain yang ada di sekitar Taman Sriwedari.
jud