Oleh Ki Samar
KORANJURI.COM – Proses pilkada telah usai, dan bupati/wakil bupati sudah dilantik. Maka, kini tinggal mengemban amanah membangun demi kesejahteraan rakyat. Dimulai dengan mengenal Purworejo original.
Ditinjau dari sudut supranatural sejarah Purworejo kuno, suatu misteri yang terpendam dan sangat banyak hal-hal luar biasa, Purworejo suatu aset yang berharga dan harus digali demi kepentingan NKRI.
Hari jadi Kabupaten Purworejo pada 5 Oktober 2016 mendatang, memasuki usia yang ke 1.115 tahun, sedangkan Jumenengan bupati pertama telah diperingati pada 27 Februari 2016 lalu, yang ke 185 tahun.
Tokoh-tokoh hebat pengendali proses penetapan Perda No. 9 tahun 1994 tentang Hari Jadi Purworejo (dari 20 orang panitia), antara lain budayawan senior Soekoso DM, wartawan senior Radix Penadi dan Mangkutrisno.
Rujukan yang dimintai bantuan agar yuridis formal dan ilmiah oleh Bupati Purworejo, kepada Dekan UGM, untuk meneliti hari jadi Purworejo yang bersifat ‘Indonesia Sentris’. Hasil penelitian dilakukan selama 2 tahun oleh tim dari Fakultas Sastra Budaya UGM Yogyakarta, yang diketuai oleh Dr. Djoko Suryo.
Pada salah satu inti laporannya menyebutkan, bahwa dari data-data yang ada, termasuk 4 prasasti yang ditemukan di Purworejo, semua masih bersifat interpretatif (gambaran aktifitas pada abad IX dan X tidak terlalu jelas).
Juga informasi yang ada tidak bisa memberikan keterangan yang cukup akurat. Jika pada masa ini yang dipilih sebagai hari jadi ada dua alternatif, yakni 1 Januari 901 dan 5 Oktober 901.
Alternatif lain dari UGM juga menyebutkan adanya perubahan nama dari Brengkelan menjadi Purworejo, dan bupati pertama RAA Tjokronegoro. Tetapi hanya di kesimpulan dan tidak dimasukkan ke alternatif akhir.
Hal ini karena panitia menentukan beberapa kriteria pokok hari jadi (ada 5 butir) yang bila diamati, isinya mirip semua. Yaitu membuang kata Purworejo dan mengisolasi semua hal yang berhubungan dengan Purworejo.
Pada seminar terbuka untuk perumusan alternatif hari jadi tanggal 28 September 1993 di gedung Loka Adibina, para tamu undangan dari 80% yang hadir, cenderung lebih memilih alternatif lain yang berbeda dengan panitia (ada saksi hidup yang ikut seminar kala itu sebagai pembicara).
Berkaitan dengan hal di atas, sebenarnya panitia dan hasil seminar tersebut kurang pas, bila ditinjau dari maksud dan tujuan surat edaran instruksi Gubernur Jawa Tengah tahun 1975, dan diulang instruksinya untuk kali kedua.
Instruksi menyebutkan agar setiap daerah memiliki hari jadi masing-masing, dengan mementingkan wawasan pembangunan menegnal jatidiri dan identitas budaya lokal masing-masing. (Kebijakan yang sama, dari surat Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia).
Agar lebih jelas dan paham secara mendetail, bisa baca buku ‘Upaya Pemberdayaan Hari Jadi Purworejo, Sebuah Autokritik Untuk Warga Bumi Bagelen Purworejo’, oleh Soekoso DM.
Apapun prokontra masalah hari jadi, perda sudah ditetapkan dan sudah benar 90%. Terima kasih, panitia sudah bersusah payah selama 19 tahun, walau sedikit polemik masih terus bergulir hingga kini.
Tetapi hal ini sudah digenapi yang 9%, dengan adanya prosesi Jumenengan Bupati Pertama tahun 2013 lalu. Semoga kedepannya tidak ada lagi yang mempermasalahkannya. Yang 1%, keseriusan bupati menindaklanjuti.
Jika memang umur ‘Purworejo’ itu sudah sangat tua, itu benar sekali. Banyak sekali kerajaan/kraton tua yang lahir di Purworejo kuno, misalnya, Raja Sanjaya bergelar Syailendra di wilayah Bagelen dan kerajaan Ho Ling di peseisir laut selatan (lokasi di sungai Bogowonto), pada abad VI. Kekuasaannya merambah luas, hingga sampai ke luar negeri. (Agar lengkap baca buku Purworejo Tempo Dulu, yang disusun oleh Atas Danusubroto).
Banyak juga kraton-kraton yang didirikan di Purworejo kuno, tetapi akhirnya tidak diteruskan pembangunannya, misalnya di Siti Hinggil, Kaliboto, dan situs Pager Boto di Loano.
Konon juga banyak candi-candi yang akan dibangun, tetapi gagal juga, misal, di Loano ada candi wurung, yang konon merupakan lokasi awal dari candi Borobudur. Juga Purworejo kuno bertabur tempat-tempat keramat yang menjadi tujuan para spiritual dari berbagai daerah.
Konon, raja Jogja juga sowan ke Goa Seplawan. Tokoh-tokoh spiritual Indonesia tentunya yang paling paham akan hal-hal seperti ini, dan mengakui bahwa Purworejo memang penuh misteri.
Tanah keramat Purworejo kuno juga merupakan batas wilayah 2 kerajaan, antara Majapahit dan Pajajaran, yang tak dikuasai kedua kerajaan besar itu. Bahkan Purworejo kuno merupakan satu-satunya wilayah yang tidak bisa dikuasai oleh Mahapatih Gajah Mada pada jaman dulu.
Wilayah Bagelen kuno juga diperebutkan dua kerajaan, Jogja dan Solo, dan terbagi menjadi 6000 cacah, yang saling berselang-seling, campur aduk. Bahkan Ratu Wihelmina dari Kerajaan Belanda pada tahun 1933, ketika meletus perang dunia II, dan Jerman menguasai Eropa, untuk mempertahankan pemerintahannya, mencari lokasi pemerintahan sementara.
Dari 3 lokasi alternatif, dan dari hasil penelitian petinggi Belanda, Purworejolah yang dipandang paling tepat. Sayangnya, ketika Jepang menang perang dengan Rusia, pemerintahan pelarian Belanda dipindah ke Melbourn, Australia. Padahal segala macam sarana prasarana telah dibangun di Purworejo.
Tak hanya itu. P. Diponegoro yang ingin mendirikan kerajaan baru dan memerangi Belanda dan Kraton Jogja (1825-1830), sudah mengangkat beberapa adipati di Purworejo lama. Kemungkinan, jika perjuangan dan tujuannya berhasil, maka ibukota kerajaan akan didirikan di wilayah Purworejo lama/Bagelen.
Kemasyuran dan kehebatan Purworejo ada banyak sekali, baik tokoh-tokohnya maupun lainnya, seperti, masjid tertua di Loano yang dibangun Sunan Geseng, yang kedua masjid Demak, dan yang ketiga masjid Santren di Bagelen.
Bedug Pendowo yang terbesar di dunia. Purworejo dengan jumlah desa terbanyak di Indonesia (494 desa). Bruno pernah menjadi ibukota Propinsi Jawa Tengah. Purworejo pernah menjadi ibukota Karesidenan Bagelen.
Alun-alun Purworejo merupakan alun-alun kabupaten terluas di Indonesia (6 hektar). RAA Tjokronegoro membangun Purworejo dengan berbagai fasilitas pemerintahan yang sampai kini masih dimanfaatkan masyarakat luas. P. Purboatmojo, tokoh perlindungan alam/lingkungan hidup internasional, dengan karyanya, menghutankan pantai selatan dan bangunan air.
MN Radiman Tjitrowardojo, adalah dokter pertama di Indonesia (saat ini menjadi nama RSU Purworejo). WR Supratman, komponis lagu Indonesia Raya, dari Kaligesing, Purworejo.
Jendral Urip Sumoharjo, cikal bakal TNI dari Sindurjan. Jendral Achmad Yani, pahlawan revolusi, dari Purwodadi. Mr Wilopo, perdana menteri RI ke 7, juga dari Purworejo. Gusti Prabu Heru Tjokro Semono, tokoh spiritual yang mendunia juga dari Purworejo.
Banyak lagi, tokoh-tokoh yang berkaitan dengan kerajaan-kerajaan kuno (Mataram kuno, Pajajaran, Majapahit), yang keturunannya ada di Purworejo, antara lain, Bethoro Loano (Gagak Pranolo), Adipati Nilosrobo (Imam Puro).
P. Samparwadi (KHR Sayyid Hasan Agil Ba’bud), P. Drajat, KHR Rofingi, R Ng Djajeng Kewuh, RT Gagak Handoko, P. Cumanthoko, dan lain-lain, yang tak bisa disebut satu persatu.
Demikianlah, dari sudut pandang sejarah budaya, maupun spiritual, Purworejo mempunyai kekayaan yang sangat luar biasa, seperti sebuah museum. Tidak dimungkinkan juga, ada kekayaan alam yang masih terselimuti. Semoga peninggalan-peninggalan budaya yang tinggi nilainya ini, dapat dilestarikan, lebih diperhatikan oleh pemerintah.
Masyarakat luas Purworejo, terutama generasi penerus saat ini, cintailah Purworejo, jagalah selalu, sebagai warisan para leluhur yang tak ternilai, dan bangunlah Purworejo agar damai, sejahterah dan menjadi pusat NKRI.
(Daftar pustaka dari berbagai sumber)