Polda Bali Jelaskan Hasil Penyelidikan Dugaan Kasus Paedofilia di Klungkung

oleh
Kabid Humas Polda Bali Kombes Pol Hengky Widjaja - foto: Istimewa

KORANJURI.COM – Hasil penyelidikan Polda Bali terhadap dugaan terjadinya paedofilia di Ashram GPS Klungkung, Subdit IV Ditreskrimum menemui kendala lantaran orang yang diduga sebagai korban tidak bersedia memberikan keterangan.

Hal itu diungkapkan Kabid Humas Polda Bali Kombes Pol Hengky Widjaja. Hengky menyatakan, penyidik tidak dapat mengumpulkan alat bukti yang mendukung.

“Apakah benar telah terjadi dugaan peristiwa pidana perbuatan cabul terhadap anak (paedofilia) terkait, kapan dan dimana kejadiannya, modus operandinya bagaimana dan seterusnya,” jelas Hengky Widjaja, Rabu, 20 Februari 2019.

Kedua penyidik, menurut Hengky, tidak bisa melakukan penyidikan tanpa keterangan korban. Selama proses penyelidikan, jelas Hengky, penyidik Polda Bali hanya mendengarkan cerita dari orang yang diduga sebagai korban.

“Bukan saksi yang mengalami atau mengetahui peristiwa secara langsung (testimoniun de Auditu),” ujar Hengky Widjaja.

Kemudian, terhadap informasi adanya rekaman pengakuan pelaku, menurut Hengky, sampai saat ini belum didapat penyidik. Jika benar ada rekaman, maka rekaman itu tidak bisa dijadikan alat bukti berdiri sendiri tanpa didukung alat bukti yang lain seperti, keterangan korban, saksi, surat, ahli maupun petunjuk.

“Pengakuan pelaku baru bernilai sebagai alat bukti kalau diucapkan di depan sidang pengadilan atau keterangan terdakwa,” Hengky menjelaskan.

Hasil lainnya, terkait orang yang diduga sebagai korban yang tidak mau memberikan keterangan, Hengky menegaskan, penyidik tidak dapat memaksanya. Sesuai pasal 5 huruf c UU RI No. 13 tahun 2006 tentang perlindungan saksi dan korban menyatakan, baik saksi dan korban berhak memberikan keterangan tanpa ada tekanan.

“Saat ini seharusnya kita bersama tidak memaksa orang yang diduga sebagai korban untuk memberikan keterangan. Karena orang yang diduga korban tidak mau mengingat kembali trauma masa lalunya,” terang Hengky.

“Justru seharusnya sekarang kita seharusnya bersama-sama melindungi hak korban yang sudah hidup tenang dan sudah pulih dari rasa traumanya,” tambah Hengky.

Sebelumnya, Subdit IV Ditreskrimum Polda Bali meminta klarifikasi terhadap 7 orang dalam pertemuan yang dilakukan mereka pada sekitar bulan Maret 2015. Pertemuan di rumah seorang psikiater itu bertujuan, mendengarkan pengakuan seorang laki-laki berumur 20 tahun.

Lelaki yang mengaku pernah mengalami pelecehan seksual dari guru spiritualnya di Ashram GPS Klungkung. Ketika mendapatkan pelecehan seksual, ia (orang yang diduga korban, red) belum berumur 18 tahun.

Polisi juga melakukan penyelidikan terhadap orang yang diduga sebagai korban berumur 24 tahun. Awalnya, kata Hengky, orang yang diduga korban itu menyanggupi bertemu penyidik pada 5 Februari 2019. Namun, pada hari H, kata Hengky, yang bersangkutan membatalkan dan meminta kepada penyidik agar tidak mengganggu kehidupannya. (Way)

KORANJURI.com di Google News