Penjelajahan Wayan Sadu dalam Lingkaran Tradisi Melukis di Ubud

oleh
Pelukis Wayan Sadu dengan karya berjudul 'Dititip ke Ibu Pertiwi' - foto: Koranjuri.com

KORANJURI.COM – Lahir di Desa Sayan, Ubud, Gianyar, Bali, perupa I Wayan Sadu menorehkan karya goresan kanvas yang sarat dengan pengolahan komposisi.

18 karya yang dipamerkan dalam ‘The Journey by I Wayan Sadu’ di Santrian Art Gallery, Denpasar, menunjukkan pendekatan artistiknya berada dalam radius tradisi melukis.

Dalam Karya berjudul ‘Dititip ke Ibu Pertiwi’ Sadu seolah masuk dalam tradisi yang paling sakral dalam kehidupan sosial di Bali. Lukisan berukuran 39×60 cm itu dibuat dengan menggunakan oil kanvas.

“Peristiwa seperti kematian ini seringkali terjadi dan saya melihat jadinya mengendap dalam pemikiran,” kata Wayan Sadu.

Karya Wayan Sadu berjudul ‘Tamu-tamu di Bulan Agustus – foto: Koranjuri.com

Pemilihan judul ‘Dititip ke Ibu Pertiwi’ menjadi bagian dari sebuah tradisi upacara kematian di Bali sebelum prosesi pengabenan. Istilah yang berkembang di masyarakat adalah ‘Titip Pertiwi’ atau ‘Nitip Geni’. Makna sakral itu kemudian dipilih oleh Wayan Sadu menjadi sebuah judul lukisan.

Kurator Wayan Seriyoga Parta menyebut, dalam perkembangan selanjutnya, Wayan Sadu semakin mapan dan berani bermain dengan komposisi asimetris dan warna tunggal, monokromatik.

“Sadu sangat terampil bermain kontras antara komposisi guratan warna pada bentuk atau gambar dengan warna latar putih genap (datar), tanpa menonjolkan bentuk dengan garis kontur (outline),” kata Seriyoga di Denpasar, Jumat, 22 Maret 2024.

Dalam pamerannya, Sadu memegang 18 karya seni dengan berbagai ukuran dibuat dari tahun 2018 hingga 2024 menggunakan cat minyak dan akrilik.

Seriyoga mengatakan, pengalaman Sadu mengunjungi Eropa dan Jepang kemungkinan besar memberikan inspirasi visual yang memperkaya capaian estetis dalam berbagai karyanya.

“Sejak awal dia punya ketertarikan pada lukisan abstraksi gaya kubisme,” ujarnya.

Seriyoga menilai, karya-karya Wayan Sadu tak lepas dari kondisi sosial masyarakat pedesaan yang dulunya agraris. Namun pada perjalanannya, desa kelahirannya tumbuh secara heterogen dengan masuknya masyarakat asing atau wisawatan mancanegara.

“Dia menyaksikan dan mengikuti perkembangan yang ada di desanya. Dulunya, sangat sederhana dengan kehidupan agraris, kemudian menjelma menjadi sebuah desa global yang berbalut wisata budaya,” Seriyoga memaparkan.

Bagi Sadu, karya-karyanya merupakan wahana untuk mengeksplorasi pikiran dan perasaannya. Dia memiliki cukup keberanian menuangkan komposisi warna kontras seperti hijau bertemu oranye dan dilapis warna hitam.

Seriyoga melihat, ada emosi tercurah dalam guratan-guratan rol cat minyak yang meninggalkan jejak dan riak tekstur. Dalam pameran itu, terlihat karya-karya Sadu selalu terdapat muatan tematik, eksplorasinya tidak berhenti pada artistik prestasi.

“Rasanya seperti suara gemericik roller saat digerakkan secara spontan dengan kuat,” kata Seriyoga.

Karyanya tidak jauh dari dunia kesehariannya, bersumber dari kebiasaan sehari-hari, kehidupan berkeluarga, binatang, dan hubungan sosial.

“Hingga saat ini karya Sadu tidak pernah benar-benar abstrak dan formalistik,” jelas Seriyoga. (Way)

KORANJURI.com di Google News