KORANJURI.COM – Gerakan menolak reklamasi Teluk Benoa dikatakan, koordinator Pasubayan Desa Adat Bali Tolak Reklamasi, I Wayan Swarsa merupakan gerakan masyarakat Bali yang tergabung di Lembaga Desa Adat. Pihaknya sekaligus menepis tudingan yang menunjuk gerakan desa adat itu sebagai tindakan makar.
“Tudingan itu tanpa dasar, tudingan kebablasan. Apalagi disampaikan oleh pihak lain yang notabene belum pernah bicara dengan kami, Pasubayan,” jelas Wayan Swarsa usai menggelar kirab 110 buah bendera merah putih di Pura Sakenan, Pulau Serangan, Denpasar, 25 September 2016.
Namun berlandaskan jiwa dan adat Bali, pihaknya menerima dan memahami tudingan tersebut. Hukum adat di Bali, secara jelas telah menunjukkan tujuan dan dasar pembentukan desa adat adalah Pancasila dan UUD 45 pasal 18.
Gerakan tolak reklamasi Teluk Benoa, dikatakannya murni sebagai gerakan masyarakat yang merespons dan memperjuangkan keyakinan terkait kepatutan yang ada di Bali.
“Jadi bagaimana kami dikatakan sebagai gerakan separatis. Tapi kami menyadari mereka itu orang luar yang tidak paham seperti apa adat Bali itu,” ujarnya.
Swarsa mengatakan, Desa Adat tidak akan mengambil langkah lain kecuali memberikan peringatan dengan cara melakukan gerakan turun ke jalan mengirab ratusan bendera Merah Putih.
“Ini menunjukkan kami bagian dari NKRI yang punya hak bersuara. Tapi kalau sampai dua kali, tiga kali mengatakan hal yang sama, rakyat itu punya kuasa,” ucap Wayan Swarsa.
Kirab menempuh jarak sekitar 11 km dari titik nol Kota Denpasar di Lapangan Puputan Badung, dan berakhir di Pura Sakenan yang ada di Pulau Serangan. Selain diikuti oleh ribuan massa, anggota Komisi VI DPR RI, I Nyoman Dhamantra juga ikut dalam aksi long march.
Sementara, I Wayan ‘Gendo’ Suardana dari ForBALI mengatakan, kirab merah putih tersebut sekaligus untuk memperingati Hari Maritim Dunia dan Hari Puputan Badung.
“Ini sekaligus untuk menepis anggapan bahwa ForBALI dan Pasubayan anti NKRI. Gerakan ini bukan gerakan separatis yang didengungkan segelintir orang,” ujar Gendo.
Way