KORANJURI.COM – Puskesmas Cangkrep, berkomitmen untuk memberikan hak yang sama di bidang kesehatan bagi kelompok disabilitas. Hal itu dibuktikan dengan kegiatan Bimbingan Mental tentang Kesehatan Reproduksi bagi Anak Berkebutuhan Khusus di SLBN Purworejo, Jum’at (01/10/2021).
Kegiatan Bimbingan Mental ini, diikuti oleh 50 siswa SMA LB dari SLBN Purworejo. Mereka ini, siswa kelas X, XI dan XII, dari berbagai kebutuhan khusus, seperti tuna rungu, tuna grahita, maupun tuna daksa, yang sudah mulai menginjak remaja.
Dibuka secara resmi oleh Kepala SLBN Purworejo, Sugiyono, S.Pd, Bimbingan Mental menghadirkan dr Nawang Sukestiningsih, Kepala Puskesmas Cangkrep sebagai narasumber.
Menurut Sugiyono, anak-anak berkebutuhan khusus, juga perlu mengetahui tentang reproduksi kesehatan. Dia berharap, setelah ada penjelasan informasi dari puskesmas, anak-anak bisa memahami, mengerti dan bisa mengambil manfaat dari kegiatan tersebut.
“Kami kan sangat awam akan hal itu. Kalau dokter dari puskesmas merupakan ahlinya di bidang kesehatan,” ujar Sugiyono, di sela-sela kegiatan.
Dalam kesempatan tersebut, dr Nawang menyajikan berbagai materi meliputi Kesehatan Reproduksi, Seksualitas dan Pernikahan Sehat dan Aman.
Tujuan dari Bimbingan Mental ini, menurut Nawang, menyiapkan anak-anak untuk mengenal reproduksi dan mempunyai kesehatan reproduksi yang baik.
“Sasarannya, anak-anak SMA dengan tujuan nanti mereka ketika berumah tangga mempunyai kesiapan mental, kesiapan fisik, dan kesiapan sosial,” ujar Nawang, usai memberikan materi.
Kesehatan reproduksi, kata Nawang, penting untuk diangkat menjadi persoalan kesehatan masyarakat karena merupakan salah satu investasi jangka panjang guna peningkatan derajat kesehatan secara adil dan setara gender.
Salah satu permasalahan kesehatan pada penyandang disabilitas, terkait kesehatan seksual dan reproduksi . Penyandang disabilitas memiliki hambatan untuk mengakses pelayanan dan informasi kesehatan.
Hambatan tersebut muncul dari berbagai aspek seperti norma dan budaya yang membatasi, keterbatasan pelayanan, lemahnya kemampuan komunikasi para petugas kesehatan, marjinalisasi dalam komunitas.
“Namun kita berkomitmen untuk memberikan hak yang sama di bidang kesehatan bagi kelompok disabilitas,” pungkas Nawang. (Jon)