KORANJURI.COM – Pilkades di Desa Aglik, Kecamatan Grabag, Purworejo, yang dilaksanakan Senin (30/11) lalu, dengan diikuti tiga calon, Arti Wibi Mulyati (1), Surati (2), dan Basiyo (3), menuai protes.
Protes dilakukan oleh tim sukses Arti Wibi Mulyati, yang menilai, bahwa dalam pelaksanaan pilkades tersebut banyak kejanggalan, baik dari proses awal, hingga penghitungan suara.
“Ada dugaan, panitia tidak netral. Kami menemukan banyak kejanggalan,” ujar Bimo Winarso (47), ketua tim sukses Arti Wibi Mulyati, Kamis (30/11).
Dari 3 calon kades tersebut, kata Bimo, Basiyo memperoleh suara terbanyak, yakni 521 suara. Disusul Arti Wibi Mulyati, dengan 451 suara, dan Surati 300 suara. Jumlah suara yang masuk, 1347 suara. Jumlah suara yang syah 1272 suara, dan suara rusak 75 (milik Arti Wibi Astuti).
Kejanggalan-kejanggalan yang dimaksud, jelas Bimo, tidak ada sumpah kepanitiaan, mekanisme penghitungan, penyiaran hasil akhir masing-masing calon, aturan mekanisme, rekapitulasi suara rusak, serta diskriminasi pada surat panggilan di masyarakat.
Lebih terperinci, Bimo menjelaskan, dari panitia tidak ada sumpah kepanitiaan. Dalam pengambilan kartu suara, tidak ada penyortiran ulang terlebih dahulu sebelum kartu suara digunakan, untuk mengetahui apakah kartu suara rusak/cacat.
“Seharusnya juga, seusai pencoblosan, kartu suara dihitung terlebih dahulu, apakah sesuai dengan jumlah suara yang masuk atau tidak. Tapi ini tidak dilakukan,” terang Bimo, yang didampingi Saptono, suami dari Arti Wibi Mulyati.
Saat pengumuman hasil akhir, kata Bimo, juga patut dipertanyakan. Itu karena, petugas yang mengumumkan/menyiarkan, tidak masuk dalam susunan kepanitiaan, dan terkesan buru-buru. Saksipun sempat mengekuhkan hal itu.
Dan pada rekapitulasi hasil penghitungan suara, hanya ditandatangani ketua panitia dan dua anggota panitia, serta tiga saksi masing-masing calon. Jadi, tegas Bimo, pada surat rekapitulasi hasil penghitungan suara, tidak ditandatangani ketiga calon.
Lanjut Bimo, pada penomoran surat berita acara juga ada kejanggalan. Pada berita acara kesepakatan tentang DPT tertanggal 25 Oktober 2017, surat bernomor 17/PILKADES/2017. Namun dalam berita acara rekapitulasi penghitungan suara, surat yang bertanggal 30 Oktober 2017, justru nomornya lebih kecil, yakni no 15/PILKADES/2017.
“Pada surat pemanggilan juga ada diskriminasi, karena warna kertas suratnya berbeda-beda. Ada yang biru, kuning, orange. Itu maksudnya apa?” ujar Bimo.
Pada penghitungan suara yang rusak, juga ada kejanggalan. Karena, banyak kertas suara dengan pilihan no 1, di bagian bawahnya ada seperti titik-titik hitam, yang oleh panitia dianggap tidak syah. Padahal, kata Bimo, jika dari awal ada penyortiran, surat suara tersebut tidak digunakan karena rusak/cacat.
Berdasarkan fakta-fakta itulah, kata Bimo, pihaknya menduga, dari kepanitiaan ada kecenderungan memihak salah satu calon, dan terkesan tidak netral.
“Kita menuntut untuk diadakan pemilihan ulang,” tegas Bimo, yang secepatnya akan melayangkan surat ‘gugatan’ tersebut ke instansi terkait. (Jon)