KORANJURI.COM – Direktur Jenderal Kebudayaan Kemendikbudristek Hilmar Farid menyoroti, sustainable tourism saat ini hanya berfokus pada investasi. Menurutnya, ada yang perlu dibenahi.
“Investasi selama ini mungkin lebih banyak ke fisik. Kita perlu investasi ke pengetahuan, riset. Preservasi kebudayaan lokal kalau tidak diselamatkan akan tergerus habis,” kata Hilmar di Nusa Dua Bali, Selasa, 21 Mei 2024.
Menurutnya, kearifan lokal budaya jadi kunci penting dalam membangun peradaban yang berkelanjutan. Dalam konteks itu, kata Hilmar, kehidupan yang ada di Bali bisa jadi sumber inspirasi untuk mencari pemecahan masalah global.
Di bidang air, Bali memiliki kearifan lokal Subak yang dapat menyelesaikan masalah non teknis dengan berpijak pada khasanah perjalanan budaya. Hilmar mengatakan, pola yang digunakan oleh masyarakat adat itu bisa menjadi tren global yang digunakan oleh masyarakat dunia.
“Pengetahuan lokal ini kita menjaga keanekaragaman hayati selama berabad-abad. Sehingga kontribusinya terhadap upaya penyelamatan lingkungan juga bisa jalan,” ujarnya.
Dalam hal ini, Direktorat Kebudayaan Kemendikbudristek menggelar diskusi dan Pameran Sistem Subak serta Jalur Rempah. Diskusi yang menjadi side event World Water Forum Ke-10 di Nusa Dua, Bali itu, mempertemukan berbagai kepentingan terkait air.
“Kita memerlukan percakapan berkelanjutan dan bukan hanya melibatkan kalangan ahli tapi juga para praktisi di lapangan,” kata Hilmar.
“Ini satu pendekatan yang sangat dibutuhkan dan saya berharap bisa membawa pesan itu. Ini sebenarnya problem yang kita hadapi di seluruh dunia,” tambahnya.
Menurutnya, saat ini manusia berjarak dengan alam dengan banyak keinginan untuk menguasai dan mengendalikan alam. Di sisi lain, manusia menjadi bagian dari alam itu sendiri.
“Yang ada sekarang, 70 persen air bersih untuk memproduksi makanan, tapi kita tahu sepertiga produksi pangan itu tidak pernah sampai ke konsumen,” ujarnya.
“Kalau mengambil terlalu banyak akan mengganggu ekosistem. Kalau itu terjadi yang rugi manusia sendiri. Itu prinsip pengetahuan yang penting sampai sekarang,” kata sejarawan dan akademisi Hilmar Farid.
Selain subak di Bali, kearifan lokal yang terkait dengan pengelolaan air juga dilakukan warga di wilayah Maluku. Di sana mengenal sistem Sasi. Bentuk kearifan lokal ini untuk melestarikan sumber daya alam darat maupun laut serta dapat membantu upaya konservasi.
Di Sumatera Utara ada Lubuk Larangan. Sistem tradisi itu membatasi masyarakat untuk memanen hasil alam yakni ikan.
“Dan itu sebuah sistem pengetahuan yang terbentuk untuk waktu yang panjang,” kata Hilmar. (Way)